
Berangkat dari rumah pukul 9:00 WIB di
Buahbatu, perjalanan diarahkan menuju Cicalengka melalui Jalan Raya Timur
Cicalengka. Seperti biasa kemacetan mewarnai perjalanan di Jalan
Soekarno-Hatta. Sengaja saya melalui jalur lambat yang memang seharusnya
dilintasi pesepeda. Selain menjaga ketertiban lalu lintas, saya juga tidak
ingin terintimidasi oleh kecepatan tinggi mobil dan kendaraan besar lainnya
yang melaju di jalur cepat. Konsekuensi dari pilihan itu memang beberapa kali
saya terpaksa menekan tuas rem untuk menghindari sepeda motor yang berjalan
lambat.

Tiba di Majalaya, waktu menunjukkan pukul
11:45. Terus terang saya masih belum yakin dengan keadaan logistik jalur
beberapa kilometer ke depan sehingga saya memutuskan untuk makan siang serta
mengisi penuh kedua botol bidon saya di sini.

Beratnya tanjakan, terutama mulai Paseh hingga
tanjakan berakhir di Monteng, sebelum pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP)
Kamojang yang berkisar 12% lebih membuat kelelahan mengalahkan semangat untuk
tetap mengayuh pedal. Teringat akan masih jauhnya perjalanan, saya memutuskan
untuk menuntun sepeda, setidaknya 3 kilometer per jam kecepatan menuntun masih
bisa mencicil jarak yang harus ditempuh.

Perjuangan ini akhirnya selesai saat saya
menjumpai tanda-tanda instalasi PLTP Kamojang. Terlihatnya plang kawasan pembangkit
listrik yang berada di kawasan konservasi Gunung Guntur ini seakan lunas
membayar kesulitan perjalanan yang ditempuh. Pemandangan ke depan yang
menampakkan langit biru menggantikan lerengan gunung seakan mengucapkan selamat
atas perjuanganku.

Badan sudah cukup lelah saat jalan layang
Nagreg nampak di depan mata. Jam yang hampir menunjukkan pukul 5 sore membuat
saya memaksa untuk mengayuh sepeda menembus tanjakan. Target saya untuk
menyelesaikan perjalanan sebelum matahari tenggelam gagal sudah.
Sebuah minimarket di Rancaekek menjadi tempat
istirahat terakhir saya di perjalanan ini. Jarak ke kota Bandung yang sekitar
25 kilometer lagi membutuhkan mentalitas bersepeda yang lain dari yang
diperlukan di perjalanan sebelumnya. Sudah tidak diperlukan lagi tenaga yang
besar untuk menanjak dan posisi bersepeda aerodinamis untuk mengurangi terpaan
angin.
Lalu lintas kendaraan bermotor pinggiran kota
Bandung dipadukan dengan lelahnya badan ini membuat saya harus bisa menjaga
momentum untuk bisa pulang. Sedikit menyisakan jarak dengan kendaraan bermotor
di depan harus dilakukan sehingga saya tidak harus mengayuh lagi dari awal saat
kendaraan bermotor itu berhenti tiba-tiba. Perjalanan berakhir sekitar jam 8
malam, menempuh jarak 150 kilometer dalam sehari.
(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 23 Agustus 2015)
Mantaap!! Hari minggu kmrn saya mencoba jatinangor-cijapati-cipanas dan pulang lewat nagreg, mohon saran kalau dari jatinangor mau ke monteng hrs ke majalaya dulu ya ?
ReplyDeletewah ini bener2 tanjaan legendaris ... tanjakan maut monteng .... ngga haramlah ttb disini :)
ReplyDeleteAlhamdulillah berkat baca blognya mas mono, akhirnya nyoba juga gowes ke kamojang dari jatinangor. Lepas ibun sdh panas terik dan capek...beruntung ketemu teman2 goweser bandung yg mau menginap di kamojang, jadilah kita ttb berjama'ah. Namun kita tidak lewat monteng, katanya lewat kamojang hill bridge aja yg baru dibuka dan melalui jalan beton lgs ke kamojang yg lebih sopan. Tetep aja bbrp kali berhenti dijalur ini, dan akhirnya selamat sampai kamojang. Saya melanjutkan gowes pulang ke jatinangor...rute onroad yg paling gila!
ReplyDelete