Perjalanan jarak jauh menjadi salah satu
kegiatan yang banyak dilakukan pesepeda saat ini. Bulan Agustus ini salah satu
media sosial melakukan tantangan bersepeda sejauh 150 kilometer. Tantangan itu,
dan kepenasaranan atas tanjakan Monteng di kawasan Gunung Guntur yang memiliki
kemiringan rata-rata 13% membuat saya mencoba bersepeda menuju Garut via
Monteng di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut.
Berangkat dari rumah pukul 9:00 WIB di
Buahbatu, perjalanan diarahkan menuju Cicalengka melalui Jalan Raya Timur
Cicalengka. Seperti biasa kemacetan mewarnai perjalanan di Jalan
Soekarno-Hatta. Sengaja saya melalui jalur lambat yang memang seharusnya
dilintasi pesepeda. Selain menjaga ketertiban lalu lintas, saya juga tidak
ingin terintimidasi oleh kecepatan tinggi mobil dan kendaraan besar lainnya
yang melaju di jalur cepat. Konsekuensi dari pilihan itu memang beberapa kali
saya terpaksa menekan tuas rem untuk menghindari sepeda motor yang berjalan
lambat.
Kemacetan terasa mengganggu selepas bundaran
Cibiru hingga simpang Jatinangor, di sini lalu lintas mobil, sepeda motor dan
lainnya berbaur sehingga sangat sulit menjaga kecepatan konstan yang nyaman
untuk bersepeda jauh. Jalan yang cukup sepi mulai saya nikmati antara
Cicalengka dan Majalaya. Dengan sepeda yang dirakit untuk kegiatan turing, saya
bisa mengembangkan kecepatan hingga 25 kilometer per jam. Angin yang berhembus
dari depan sejak awal perjalanan tidak begitu mengganggu lagi karena saya bisa
memegang stang di bagian bawah untuk mengurangi hambatan angin.
Tiba di Majalaya, waktu menunjukkan pukul
11:45. Terus terang saya masih belum yakin dengan keadaan logistik jalur
beberapa kilometer ke depan sehingga saya memutuskan untuk makan siang serta
mengisi penuh kedua botol bidon saya di sini.
Tantangan sebenarnya baru dimulai setelah
istirahat makan siang tersebut. Jarak yang baru mencapai 50 kilometer membuat
saya ragu, apalagi rute yang menanjak menuju Ibun hingga berakhir di PLTP
Kamojang mengharuskan saya menanjak setinggi 800 meter. Perbedaan ketinggian kecamatan
Majalaya di 700 meter dan Kamojang di 1.500 meter di atas permukaan laut hanya
ditempuh dalam jarak kurang dari 10 kilometer.
Beratnya tanjakan, terutama mulai Paseh hingga
tanjakan berakhir di Monteng, sebelum pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP)
Kamojang yang berkisar 12% lebih membuat kelelahan mengalahkan semangat untuk
tetap mengayuh pedal. Teringat akan masih jauhnya perjalanan, saya memutuskan
untuk menuntun sepeda, setidaknya 3 kilometer per jam kecepatan menuntun masih
bisa mencicil jarak yang harus ditempuh.
Tapi jurus menuntun itu pun ternyata sulit
dilakukan di Tanjakan Monteng. Di beberapa tempat, kemiringan yang mencapai 30%
membuat saya seakan mendorong sepeda ke atas tembok, umumnya tanjakan seberat
ini hanya ada di medan offroad. Setidaknya di medan offroad, sepatu sepeda masih
bisa mendapatkan traksi. Di jalan aspal dengan sedikit pasir di atasnya,
beberapa kali sepatu kembali merosot ke bawah.
Perjuangan ini akhirnya selesai saat saya
menjumpai tanda-tanda instalasi PLTP Kamojang. Terlihatnya plang kawasan pembangkit
listrik yang berada di kawasan konservasi Gunung Guntur ini seakan lunas
membayar kesulitan perjalanan yang ditempuh. Pemandangan ke depan yang
menampakkan langit biru menggantikan lerengan gunung seakan mengucapkan selamat
atas perjuanganku.
Perjalanan dilanjutkan menuju kota Garut.
Rencana menengok sentra kerajinan kulit Sukaregang tidak jadi dilakukan karena
masalah waktu. Perjalanan dilanjutkan menuju Nagreg, setidaknya tanjakan ini
lebih mudah daripada kembali menanjak lewat Samarang, Garut. Jalur mendatar dan
sedikit menurun yang mengantarkan perjalanan hingga tanjakan Nagreg saya
gunakan untuk mengumpulkan tenaga.
Badan sudah cukup lelah saat jalan layang
Nagreg nampak di depan mata. Jam yang hampir menunjukkan pukul 5 sore membuat
saya memaksa untuk mengayuh sepeda menembus tanjakan. Target saya untuk
menyelesaikan perjalanan sebelum matahari tenggelam gagal sudah.
Sebuah minimarket di Rancaekek menjadi tempat
istirahat terakhir saya di perjalanan ini. Jarak ke kota Bandung yang sekitar
25 kilometer lagi membutuhkan mentalitas bersepeda yang lain dari yang
diperlukan di perjalanan sebelumnya. Sudah tidak diperlukan lagi tenaga yang
besar untuk menanjak dan posisi bersepeda aerodinamis untuk mengurangi terpaan
angin.
Lalu lintas kendaraan bermotor pinggiran kota
Bandung dipadukan dengan lelahnya badan ini membuat saya harus bisa menjaga
momentum untuk bisa pulang. Sedikit menyisakan jarak dengan kendaraan bermotor
di depan harus dilakukan sehingga saya tidak harus mengayuh lagi dari awal saat
kendaraan bermotor itu berhenti tiba-tiba. Perjalanan berakhir sekitar jam 8
malam, menempuh jarak 150 kilometer dalam sehari.
(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 23 Agustus 2015)
Mantaap!! Hari minggu kmrn saya mencoba jatinangor-cijapati-cipanas dan pulang lewat nagreg, mohon saran kalau dari jatinangor mau ke monteng hrs ke majalaya dulu ya ?
ReplyDeletewah ini bener2 tanjaan legendaris ... tanjakan maut monteng .... ngga haramlah ttb disini :)
ReplyDeleteAlhamdulillah berkat baca blognya mas mono, akhirnya nyoba juga gowes ke kamojang dari jatinangor. Lepas ibun sdh panas terik dan capek...beruntung ketemu teman2 goweser bandung yg mau menginap di kamojang, jadilah kita ttb berjama'ah. Namun kita tidak lewat monteng, katanya lewat kamojang hill bridge aja yg baru dibuka dan melalui jalan beton lgs ke kamojang yg lebih sopan. Tetep aja bbrp kali berhenti dijalur ini, dan akhirnya selamat sampai kamojang. Saya melanjutkan gowes pulang ke jatinangor...rute onroad yg paling gila!
ReplyDelete