Perang banyak
meninggalkan kenangan buruk bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Tapi
bagaimana jika apa yang terjadi saat perang masih menyisakan bahaya hingga saat
damai? Salah satu bahaya sisa perang adalah UXO (Unexploded Ordinance) atau artileri yang tidak meledak, seperti bom,
roket, granat, atau ranjau darat. Sebuah ekspedisi MTBLAO pada tanggal 13-20
November 2016 yang dipimpin seorang juara dunia sepeda gunung meningkatkan
kesadaran tentang hal itu.
Rebecca Rusch
adalah salah satu atlet sepeda gunung terbaik. Spesialisasinya dalam nomor yang
membutuhkan ketahanan dibuktikan dengan memenangkan Kejuaraan Dunia Sepeda
Gunung 24 Jam dari tahun 2007 hingga 2009. Sebelumnya ia juga menekuni panjat
dinding, adventure racing, rafting, dan ski cross country. Rebecca
dikenal sebagai atlet yang banyak membagi ilmunya, di antaranya melalui program
“SRAM Gold Rusch”, sebuah perkemahan dengan workshop bersepeda khusus wanita.
Ia juga menjadi penyelenggara lomba “Rebecca Rusch Private Idaho” di Ketchum,
Idaho tempat tinggalnya saat ini serta aktif di organisasi advokasi dan
filantrofis sepeda seperti IMBA, People for Bikes, dan World Bicycle Relief.
Kisah hidupnya yang inspiratif sudah ditulis dalam buku “Rusch to Glory: Adventure, Risk, & Triumph on the Path Less Pedaled”
Lahir di Puerto
Rico tahun 1968, ia baru berumur dua tahun saat ayahnya, Stephen Rusch, pilot
AU Amerika Serikat ditembak jatuh gerilyawan Viet Cong di sekitar Ho Chi Minh
Trail. Tahun 2015, Reba, begitu ia dipanggil, bersepeda menyusuri Ho Chi Minh
Trail sepanjang 1.800 kilometer untuk mencari lokasi jatuhnya pesawat tersebut.
Ho Chi Minh Trail adalah rute logistik pada perang Vietnam yang kebanyakan
berada di daerah perbatasan Vietnam dengan Laos dan Kamboja. Di perjalanan yang
akan dirilis sebagai film dokumenter penuh “Blood Road” itu, Reba menyelami
kehidupan ayahnya dan masyarakat Indochina.
Tahun ini Reba
kembali dengan 15 orang pengendara sepeda Amerika Serikat untuk bersepeda
sejauh 550 kilometer. Perjalanan ini diharapkan meningkatkan kesadaran dan
menggalang dana untuk isu UXO yang masih menjadi masalah besar di Indochina,
terutama di Laos. Walaupun perang Vietnam telah berakhir tahun 1975 atau
sekitar 40 tahun yang lalu, 300 orang per tahun masih menjadi korban artileri
yang gagal meledak. MAG (Mines Advisory Group) juga mencatat 834 orang
meninggal dunia dalam periode tahun 1999-2008.
Laos adalah negara
yang paling banyak dibom di dunia. Sekitar 270 juta bom klaster dijatuhkan di
negara tanpa garis pantai itu. Diperkirakan 30% dari bom tersebut tidak meledak
dan menyimpan bahaya ledakan hingga saat ini. 10 dari 18 provinsi di Laos
dinyatakan sebagai “terkontaminasi parah” oleh artileri yang tidak meledak.
Ancaman itu sangat terasa menghambat pembangunan di sektor pertanian dan
kehidupan anak-anak. UXOLAO, badan nasional Laos untuk artileri tidak meledak
telah menjinakkan sekitar satu juta UXO, umumnya ranjau darat dan menyatakan
23.000 hektar lahan bebas ranjau. Ranjau darat sendiri saat ini sudah dilarang
penggunaannya dengan ditanda tanganinya perjanjian Ottawa oleh 133 negara di
tahun 1997.
Ranjau dan artileri
tidak meledak lainnya bukanlah masalah yang besar bagi rakyat Indonesia. Tidak
begitu halnya dengan di belahan dunia lain. Seorang juara dunia sepeda telah
mengingatkan kita akan dampak kemanusiaan dari perang, bahkan jauh setelah
perang itu berakhir.
(Goestarmono)
No comments:
Post a Comment