Friday, December 30, 2016

Pria Paruh Baya berpakaian Lycra

Keberhasilan balap sepeda Inggris hasil prinsip pencapaian kecil Sir Dave Brailsford dari pondasi yang dibentuk Peter Keen tidak hanya berdampak pada kegiatan sepeda kompetitif. Kepopuleran Bradley Wiggins dan Chris Froome setelah kemenangan di Tour de France dan atlet balap sepeda Inggris di disiplin lain berdampak juga pada gaya hidup orang Inggris pada umumnya.

Prestasi balap sepeda Inggris di dekade 2010-an banyak menginspirasi masyarakat negara tuan rumah Olimpiade 2012 itu. Olahraga sepeda, terutama sepeda jalan raya meningkat jumlah penggemarnya. Salah satu segmen yang mulai gemar bersepeda jalan raya adalah pria paruh baya dari kelas ekonomi menengah atas. Pria berumur 30 hingga 40 tahun yang sebelumnya menggemari hobi otomotif mulai beralih ke sepeda.

Tentu saja tren peniruan idola sepeda dimulai dari tampilan fisik. Pakaian seperti jersey tim profesional, sepatu, helm, hingga sepeda kelas profesional seperti Pinarello yang digunakan tim Sky laku keras. Fenomena ini ditangkap Michael Oliver, peneliti pemasaran dari Mintel yang melaporkan adanya peningkatan pesepeda pada segmen tersebut, dan mempopulerkan terminologi Middle Aged Men in Lycra (MAMIL) atau lelaki paruh baya berpakaian lycra, pakaian yang biasa digunakan atlet balap sepeda yang menempel ketat pada badan pembalap. Kata Mamil kini bahkan sudah termasuk dalam kamus bahasa Inggris terbitan Collins.

Apa yang membuat demam sepeda jalan raya hingga lelaki Inggris tergila-gila dengan pakaian ketat dan ritual lain pembalap sepeda profesional seperti mencukur bulu kaki dan meninggalkan hobi kendaraan bermotornya?

Selain prestasi balap sepeda Inggris ada faktor lain yang membuat warga Inggris demam olahraga sepeda. Sepeda jalan raya tahun 2010-an lebih mudah dikendarai dan lebih nyaman dibandingkan pendahulunya. Shifter yang sudah menyatu dengan tuas rem membuat tangan pesepeda tidak meninggalkan stang saat memindahkan gigi transmisi. Demikian pula rangka sepeda dengan teknologi yang maju dengan bobot yang ringan, aerodinamika, atau peredaman guncangan jalan.

Panitia kegiatan sepeda pun mulai melirik segmen ini, kegiatan paket liburan bersepeda banyak ditawarkan di seluruh belahan dunia. Balap sepeda terkemuka Tour de France pun menawarkan paket bersepeda mengikuti rute lomba tersebut. Di luar kegiatan tur, atau lomba, penggemar sepeda jalan raya juga sering melakukan group ride atau gowes bareng. Gowes bareng ini sering berjalan dalam kecepatan tinggi walau tidak setinggi kecepatan para pembalap profesional. Selain peralatan yang dibelinya, pesepeda ini juga memamerkan hasil latihan yang seringkali merupakan hasil konsultasi dengan pelatih profesional.

Bagaimana dengan di Indonesia? Tren yang terjadi di dunia menular ke tanah air, tidak terkecuali tren sepeda jalan raya. Di kota Bandung, group ride klasik yang sudah berjalan lama seperti group ride selasa pagi yang dimulai di jalan Nyland, atau group ride yang dikoordinir tim BHHH2 tetap berjalan dengan peserta yang meningkat, selain itu banyak pula group ride baru yang bermunculan. Di kota lain seperti Surabaya, group ride serupa juga sering dilakukan, salah satu pesertanya adalah Azrul Ananda, komentator balap Formula 1 di televisi yang rata-rata bersepeda 400 kilometer seminggu dalam kecepatan rata-rata di atas 27 kilometer per jam.

Tren Mamil ini juga menular ke kaum hawa. Pahlawan sepeda wanita seperti Victoria Pendleton, Lizzie Armitstead, hingga downhiller Rachel Atherton menginspirasi ibu-ibu di Britania Raya menjadi Middle Aged Mums in Lycra.

Apakah tren ini akan berjalan terus? Seperti halnya tren sepeda gunung tahun 1990-an dan fixed gear tahun 2000-an, diprediksi beberapa pehobi baru ini akan berhenti bersepeda untuk menekuni hobi lain. Walau begitu tren ini akan menyisakan penambahan jumlah pesepeda dan berperan untuk memperkenalkan masyarakat luas ke dunia sepeda.


(Goestarmono)

Friday, December 23, 2016

Pencapaian kecil Tim Sky

Sir Dave Brailsford
Tanggal 24 Juli minggu lalu Chris Froome berhasil tiba di Paris sebagai juara Tour de France ke-103 tahun 2016. Keberhasilan Chris Froome dan tim Sky yang menaunginya cukup fenomenal. Dalam lima tahun terakhir ajang yang dianggap puncak balap sepeda ini Chris Froome menjuarai tiga seri setelah tim Sky mengantarkan Sir Bradley Wiggins menjadi orang Britania pertama yang menjuarai Tour de France tahun 2012. Sebelum dekade 2010-an prestasi balap sepeda Inggris tidaklah istimewa. Ingatan terakhir prestasi balap sepeda Inggris adalah saat Chris Boardman dan Graeme Obree saling memecahkan rekor satu jam di tahun 1990-an.

Botol minum tim Sky dengan tutup yang berbeda untuk isi yang berbeda
Orang di balik kesuksesan tim Sky adalah orang yang sama di balik kesuksesan balap sepeda Inggris. Sir Dave Brailsford adalah direktur tim Sky yang juga menjadi direktur prestasi British Cycling dari 2003 hingga 2013. Di bawah kepemimpinannya balap sepeda Inggris meraih dua medali emas Olimpiade 2004, prestasi terbaik sejak 1908 dan dilanjutkan memimpin perolehan medali emas balap sepeda Olimpiade 2008 dan 2012. Pada masa kepemimpinannya Inggris memenangi 59 kejuaraan dunia balap sepeda di berbagai disiplin seperti BMX, sepeda gunung, track, dan jalan raya dan ratusan seri piala dunia dan kejuaraan bergengsi lainnya.

Prinsip Brailsford dalam mengembangkan balap sepeda Inggris terkenal dengan prinsip marginal gain atau pencapaian kecil. Prinsip tersebut adalah jika kita bisa memilah semua yang berpengaruh saat bersepeda dan memperbaikinya sebesar 1%, kita akan mendapat peningkatan yang signifikan saat semuanya disatukan.

Kumulasi dari pencapaian kecil
Pendekatan Brailsford ini terkenal saat Richie Porte dari tim Sky menolak tidur di hotel yang disediakan panitia Giro d’Italia 2015 untuk tidur di bus yang disiapkan tim sebagai hotel berjalan. Walaupun UCI akhirnya melarang praktek ini, awak tim Sky membawa bantal masing-masing pembalap dan membantu pegawai hotel merapikan kamar yang akan digunakan pembalapnya. Hal yang terkesan remeh seperti bagaimana mencuci tangan yang baik agar terhindar dari infeksi pun tidak luput dari perhatian Brailsford yang menggunakan dokter ahli untuk mengajari para pembalap dalam melakukannya. Keterlibatan psikolog untuk mendampingi para pembalap juga meningkatkan suasana hati para pembalap.

Salah satu komponen yang dilakukan perbaikan kecil
Dari sisi peralatan, tim Sky juga memilih mengembangkan peralatan sendiri dengan sponsor pemasok peralatan. Sepeda Pinarello, pakaian Rapha, komponen Shimano, sadel Fi’zi:k, helm Kask, hingga mobil pendamping Ford yang digunakan tim Sky tidak lepas dari pengembangan yang dilakukan tim.
Apa yang bisa dipelajari dari kesuksesan tim Sky? Prinsip Brailsford sebenarnya sudah tidak asing bagi kita. Kita mengenal pepatah sedikit demi sedikit lama lama menjadi bukit, yang pada dasarnya sama dengan pencapaian kecil Brailsford. Pencapaian (atau kegagalan) kecil seringkali tidak dihiraukan bahkan dianggap tidak terjadi. Tapi seiring waktu perbaikan itu menjadi kebiasaan dan kita bisa melihat perbedaan dari orang yang membuat keputusan sedikit lebih baik dalam kehidupan sehari-harinya.

Apakah pencapaian kecil itu hanya berlaku untuk kegiatan kompetitif? Untuk kegiatan non kompetitif prinsip ini bisa juga dilakukan. Tujuan yang hendak dicapai mungkin bukan menjadi yang tercepat, terjauh, atau terbaik seperti yang ingin dicapai pesepeda kompetitif, tapi tujuan lain seperti pengalaman, kesehatan, silaturahmi, rekreasi atau hal lain bisa dicapai tanpa harus mengalami gangguan dari hal kecil yang bisa menghambat tujuan itu.

Hasil dari akumulasi pencapaian kecil
Hal-hal kecil seperti memperbaiki sepeda yang rusak sesegera mungkin, berkemas sebelum bersepeda sejak jauh hari bisa membuat perbedaan antara nikmatnya bersepeda dan paniknya kita akibat ditinggal rekan seperjalanan. Begitu pula saat melakukan perjalanan, istirahat yang berlebihan bisa membuat otot yang keburu dingin sulit digerakkan. Waktu yang dikorbankan untuk istirahat yang berlebih bisa membuat kita bersepeda di matahari yang lebih terik, atau terpaksa bersepeda malam.


Walau penerapan prinsip pencapaian kecil ini terbukti menuai sukses, namun ada satu hal yang gagal dilakukan secara tepat oleh Dave Brailsford. Saat menerima tugas memimpin tim Sky tahun 2010 ia meramalkan tim ini akan sukses dalam jangka waktu lima tahun. Kenyataan membuktikan hanya dalam tiga tahun tim Sky sukses mengantarkan Sir Bradley Wiggins menjadi juara Tour de France, itupun disertai kesuksesan anak asuh Brailsford menyapu 8 medali emas Olimpiade Inggris di tahun yang sama.

(Goestarmono)

Friday, June 10, 2016

SunTour, Inovator yang Tenggelam

Inovasi adalah nyawa dari sebuah perusahaan. Begitu pula dengan perusahaan yang bergerak di bidang sepeda. SunTour adalah salah satu perusahaan tersebut. Nama SunTour terangkat, dan terhempas, karena inovasi yang dilakukan, dan tidak dilakukannya.

Berawal dari Maeda Iron Works yang membuat sproket dan freewheel sepeda sejak 1912, nama SunTour hadir dalam bentuk derailleur tahun 1956. Ide produk ini lahir saat Junzo Kawai pergi ke Eropa tahun 1949. Saat itu derailleur keluaran SunTour dan pabrikan Jepang lain masih mirip derailleur buatan Perancis seperti Simplex, Huret, atau CycloTourist.

Di tahun 1964, Nobuo Ozaki, salah seorang perekayasa SunTour membuat SunTour Grand Prix, derailleur dengan mekanisme paralel miring seperti derailleur yang beredar saat ini. Sebelum Grand Prix, derailleur yang ada menggunakan paralelogram yang tegak lurus roda. Desain yang dipatenkan ini membuat jarak antara puli penuntun derailleur dan freewheel tetap sama di segala posisi. Desain paralelogram miring ini membuat SunTour menjadi pembuat derailleur  dengan mekanisme terbaik satu-satunya hingga paten desain ini kadaluarsa di tahun 1984.

Tahun 1969, JASCA (Japan Sports Cycle Association), asosiasi yang menaungi pabrikan komponen sepeda Jepang pecah menjadi Japan Bicycle Parts Manufacturers Group (JEX) dengan SunTour sebagai salah satu anggotanya, dan Japan Bicycle Manufacturers (JBM) yang salah satu anggotanya adalah Shimano. Berbeda dengan JBM, JEX tidak memperbolehkan anggotanya yang terdiri dari Dia Compe (rem), HKK (rantai), Maeda-SunTour (derailleur dan freewheel), Nankai (rem tromol), Sugino (crank), dan Taihei (sadel) untuk bersaing dengan sesamanya dengan memproduksi komponen yang sudah menjadi spesialisasi anggota yang lain.

Di tahun 1969, SunTour juga pabrikan komponen sepeda pertama yang menggunakan transmisi terindeks, bukan cuma mengandalkan friksi seperti transmisi sepeda pendahulunya. Di tahun yang sama SunTour juga membuat hub dengan mekanisme freewheel atau saat ini dikenal dengan istilah cassette hub. Walaupun inovasi tersebut terbukti menjadi keharusan saat ini, SunTour tidak melanjutkan penjualan produk ini.

Derailleur SunTour Grand Prix
Pada awal dekade 1980-an, tren komponen sepeda adalah penggabungan komponen dalam bentuk grupset. Ini terjadi akibat perkembangan Shimano yang luar biasa dan mulai memproduksi komponen di luar derailleur, hub, dan freewheel. SunTour yang terikat aturan main JEX menggandeng sesama anggota JEX untuk menawarkan grupset, walau pengembangan yang dilakukan menjadi kurang optimal akibat banyaknya perusahaan yang terlibat.

Di dekade ini pun SunTour menjadi komponen satu-satunya untuk sepeda jenis baru yang baru mulai diproduksi massal, sepeda gunung. Ini menjadi keuntungan SunTour hingga akhirnya Shimano merilis Deore XT tahun 1983. Inovasi lain untuk sepeda gunung yang fenomenal adalah Micro Drive yang dirilis tahun 1992. Penggunaan rasio gigi yang lebih kecil membuat komponen SunTour lebih ringan dan ringkas dibanding pesaingnya. Inovasi ini pun ditiru Shimano beberapa tahun kemudian.

Grupset MicroDrive, salah satu inovasi SunTour
Di dekade 1990-an nama SunTour mulai meredup. Bermula dari harga jual produk yang lebih rendah, SunTour mengalami kesulitan dalam anggaran riset dan pengembangan. Harga jual produk SunTour lebih rendah dari pesaingnya, seperti Shimano, bahkan hingga setengah harga pesaingnya dari Eropa. Walaupun daya beli pesepeda mampu untuk membeli produk dengan kualitas SunTour dengan harga lebih tinggi. Keputusan SunTour menjual dengan harga produksi ditambah sedikit keuntungan membuat perusahaan itu tertinggal dalam riset dan pengembangan. Untuk mengkompensasi hal itu, SunTour membeli tiga lisensi paten, sistem transmisi depan dari Browning, sistem injeksi gemuk dari WTB, dan sistem pengereman dari Pedersen. Ketiga inovasi ini, walaupun canggih dan berperforma tinggi, ternyata produksinya memakan biaya tinggi dan sangat kompleks sehingga SunTour mengalami kerugian besar.

Inovasi Crank Browning yang patennya dibeli SunTour
Tahun 1990-an, semakin sedikit sepeda menggunakan komponen SunTour, hingga SunTour terbelit hutang. Di pertengahan dekade tersebut Mori Industries, Inc. yang sebelumnya membeli Sakae Ringyo membeli Maeda-SunTour dan menggabungkan kedua perusahaan tersebut. Komponen sepeda SunTour pun berangsur hilang dari peredaran hingga sama sekali hilang di tahun 2000. Saat ini merk SunTour ada dalam bentuk produk suspensi SR SunTour hasil produksi merger SunTour dan Sakae Ringyo. Sementara itu, di dunia tinggal tersisa tiga pabrikan grupset sepeda, Campagnolo, Shimano, dan pendatang baru, SRAM.


(Goestarmono)









Friday, June 3, 2016

Wanita dan Sepeda

Peserta Srikandi Inspirasi Bagi Negeri (foto: greeners.co)
Kegiatan sepeda adalah kegiatan fisik yang baik dilakukan oleh pria dan wanita. Namun sifatnya yang berada di luar ruangan dan membutuhkan fisik yang prima mengurangi niat bersepeda banyak kaum hawa. Perkembangan akhir-akhir ini berkata sebaliknya. Semakin banyak kaum wanita yang bersepeda, baik dalam kegiatan kompetitif, petualangan, rekreasi, atau utilitas transportasi sehari-hari.
Pembicaraan sepeda dan wanita di Indonesia banyak dikaitkan dengan kegiatan Srikandi Inspirasi Bagi Negeri yang digagas Bike 2 Work Indonesia. Kegiatan yang mulai dilakukan tahun 2011 ini menghadirkan pesepeda wanita yang melakukan perjalanan ratusan kilometer menjelajahi indahnya pemandangan Indonesia.

Aristi Prajwalita saat bersepeda keliling Eropa (dok. Aristi)
Selain kegiatan, individu wanita pesepeda di Indonesia juga banyak dikenal luas. Dalam kompetisi sepeda, nama seperti Nurhayati dan Risa Suseanty dikenal sebagai atlet berprestasi yang tak segan membagi ilmunya kepada sesama pesepeda, terutama pesepeda wanita. Dalam kegiatan petualangan, Aristi Prajwalita, seorang dokter yang telah melanglang buana di berbagai benua juga sudah dikenal di kalangan penghobi turing bersepeda.

Bagaimana dengan di dunia internasional? Memang di negara maju pesepeda wanita bukanlah pemandangan yang aneh. Sebagai pelaju (commuter), wanita di Belanda, Jerman, dan negara Eropa lainnya membanjiri jalanan dengan sepedanya. Di Jepang bahkan dikenal jenis sepeda mamachari, atau sepeda para ibu. Mamachari adalah sepeda dengan profil rendah dengan kemampuan membawa barang yang baik. Bukan pemandangan aneh seorang ibu membawa belanjaan dan anaknya di kursi mamachari di Jepang. Terkadang dua orang anak sekaligus dibawa tanpa kesulitan berarti dan sepeda tetap dikendarai dengan stabil tanpa membahayakan mereka dan pengguna jalan lain.
Di negara maju juga sudah tidak terhitung wanita yang berstatus legenda balap sepeda seperti Jeannie Longo dan Marianne Vos untuk balap sepeda jalan raya, atau Juliana Furtado dan Anne-Caroline Chausson untuk sepeda gunung.

Juliana Buhring, wanita pertama yang bersepeda mengelilingi dunia
Bagaimana dengan kiprah wanita dalam sepeda petualangan? Untuk hal ini kisah Juliana Buhring dapat diangkat. Dalam bukunya “Not Without My Sister” , Juliana menceritakan tentang kehidupan masa kecilnya yang ditinggalkan orang tuanya dalam sebuah sekte keagamaan. Petualangan bersepedanya diawali saat ia berusaha mengumpulkan dana untuk Safe Passage Foundation, yayasan yang ia ikuti untuk membantu anak-anak yang lahir dan dibesarkan di sekte keagamaan, kelompok terisolasi, atau berpaham ekstrem. Memulai perjalanannya di Napoli, ia menempuh perjalanan 29.000 kilometer dalam 152 hari, yang membuatnya menjadi pesepeda wanita pertama yang mengelilingi dunia menurut Guiness Book of Record. Perjalanan ini ia tuangkan dalam buku “This Road I Ride”. Setelah menyelesaikan perjalanan keliling dunia, ia mengikuti lomba Transcontinental di Eropa, dan Trans Am di Amerika. Keduanya adalah lomba melintasi benua secara mandiri tanpa dukungan selain yang dapat dibawa atau dibeli oleh masing-masing pembalap.

Maria Leijerstam, orang pertama bersepeda ke Kutub Selatan
Prestasi lain juga dicatat oleh Maria Leijerstam, seorang wanita Wales. Di akhir tahun 2013 ia menjadi orang pertama yang mencapai kutub selatan dengan sepeda. Dalam pencapaian prestasinya itu, ia mengalahkan beberapa pria yang juga mencoba melakukan hal yang sama. Saat ini ia memimpin perusahaan petualangan di Wales, negara asalnya.

Di negara berkembang, memang belum banyak tokoh pesepeda wanita. Bahkan di beberapa negara, wanita masih tabu untuk bepergian sendiri, apapun sarana transportasinya. Shannon Galpin, seorang Amerika Serikat yang selamat dari tindak kekerasan seksual saat ini berjuang untuk membuka mata dunia melalui organisasinya, Mountain2Mountain. Perjuangannya mendorong wanita di Afghanistan untuk bersepeda, termasuk mendukung tim nasional wanita Afghanistan yang ia ceritakan melalui sebuah film pendek, Afghan Cycle. Ia bahkan dinominasikan sebagai pemenang Nobel Perdamaian tahun 2016 ini.

Shannon Galpin (foto: Tony Di Zinno)
Itu dari sisi pengguna sepeda. Bagaimana dengan industri sepeda sendiri? Banyak pabrikan sepeda membuat satu lini khusus untuk produk yang dikembangkan untuk wanita, bahkan beberapa merk dibuat terpisah dari merk induknya seperti Liv untuk produk wanita dari Giant dan Juliana dari Santa Cruz. Di balik produk-produk tersebut, para wanita juga menyumbangkan buah pemikiran untuk kesuksesannya, dari mulai jajaran atas manajemen seperti Elisa Walk dari Liv, perekayasa kunci seperti Mio Suzuki, Perekayasa Analis Aerodinamika Trek, hingga pemasar dan berbagai peran lainnya di industri sepeda sudah banyak diisi kaum wanita. Bahkan saat QBP, salah satu distributor sepeda di Amerika Serikat membuka kursus untuk mekanik sepeda wanita, tidak kurang dari 300 calon peserta mendaftar dari seluruh Amerika Serikat.

Mamachari, sepeda khas Jepang
Memang dunia sepeda menawarkan kesetaraan di antara penggunanya. Salah satu kesetaraan yang dimaksud juga termasuk kesetaraan gender


(Goestarmono)

Friday, May 27, 2016

Paris Roubaix “Neraka di Utara”

Sean Kelly, pemenang Paris-Roubaix 1984 (foto: Aaron Cripps)
Buruknya infrastruktur jalan di suatu daerah umumnya menjadi aib bagi warga atau pemerintah daerah tersebut. Tapi bagaimana jika sejarah dan ajang olahraga bisa membalikkan aib tersebut menjadi legenda dalam ajang lomba sepeda. Paris-Roubaix, sebuah lomba yang berlangsung tiap musim semi mendapat julukan “Neraka di Utara”, dan menjadi lomba yang ditunggu penggemar sepeda.

Paris-Roubaix kembali diadakan tanggal 10 April ini. 120 tahun yang lalu, Theodore Vienne dan Maurice Perez, pengusaha tekstil dari Roubaix, sekarang pinggir kota Lille, Perancis ingin mempromosikan Velodrome yang mereka bangun serta mempromosikan Roubaix sebagai tujuan wisata dan membangkitkan ekonomi kota. Kedua orang ini menghubungi Paul Rousseau, direktur koran Le Velo, yang juga menyelenggarakan lomba Bordeaux-Paris yang terkenal saat itu.

Salah satu sektor jalan berbatu di Paris-Roubaix (foto: Road Cycling UK)
Sebenarnya balapan ini hampir tidak terlaksana seandainya Vienne dan Perez gagal memberi akomodasi yang baik untuk Victor Breyer. Breyer, yang diutus Rousseau untuk mensurvei lintasan lomba sebenarnya sudah memutuskan untuk membatalkan lomba ini karena beratnya medan lomba. Ia tiba di Roubaix dalam keadaan lelah yang teramat sangat dengan badan yang dikotori lumpur. Jamuan dari tuan rumah di Roubaix lah yang membuatnya berubah pikiran. Walaupun saat ini rute Paris-Roubaix dikenal dengan kondisi lintasannya yang buruk, sebenarnya pada tahun-tahun awal lomba hal itu dinilai wajar. Kondisi permukaan jalan berbatu (cobblestone) memang menjadi permukaan jalan terbaik yang digunakan di seluruh dunia, bahkan untuk jalan utama di negara maju sekalipun.

John Degenkolb, juara Paris-Roubaix 2015 (foto: Roberto Bettini)
Julukan “Neraka di Utara” mulai disematkan kepada Paris-Roubaix setelah Perang Dunia I. Tahun 1919, selepas Perang Dunia I, panitia ingin menghidupkan kembali Paris-Roubaix. Dengan kondisi telekomunikasi yang hancur, panitia dari Paris bahkan tidak tahu jika kota Roubaix masih ada atau hancur total akibat perang. Tim survei yang diberangkatkan untuk merintis lomba menemukan kondisi jalur lomba hancur akibat perang. Pohon yang terbakar, bau bangkai ternak yang membusuk, serta lubang bekas pengeboman dan mortir menjadi pemandangan yang semakin mewarnai perjalanan mereka semakin mendekati Roubaix. Walau begitu, lomba di tahun 1919 ini tetap dilaksanakan dengan keadaan lintasan pasca perang yang sangat buruk.

Tabrakan di Paris-Roubaix 2014 (foto: Road Cycling UK)
Setelah Perang Dunia II, teknologi pembuatan jalan semakin baik dan aspal mulus mulai menggantikan jalan berbatu. Walau begitu, Paris Roubaix tetap mempertahankan ciri khasnya melalui jalanan berbatu hingga di tahun 1960-an pemerintah daerah yang dilalui Paris-Roubaix mulai mengaspal rute lomba. Albert Bouvet, ketua panitia lomba saat itu tidak menyukainya. Baginya lomba yang berlangsung di aspal mulus berlangsung monoton dengan hasil yang ditentukan oleh sprint massal. Di sisi lain, pemerintah daerah yang dilalui merasa malu karena lomba ini seakan memamerkan buruknya infrastruktur jalan. 

John Degenkolb, juara Paris-Roubaix 2015 dengan piala batu jalanan (foto: Cycling Weekly)
Bouvet akhirnya mendirikan Les Amis de Paris-Roubaix (teman Paris-Roubaix) yang bertujuan mencari dan merawat jalanan berbatu yang tersisa. Memang jalan berbatulah yang membuat Paris-Roubaix mendapat tempat khusus di hati penggemar balap sepeda. Tugas Teman Paris-Roubaix pun bertambah karena banyak penggemar lomba ini yang mencongkel batuan jalan (sette) untuk dijadikan cendera mata.

Buruknya lintasan lomba pun membuat sepeda yang digunakan di lomba ini menarik untuk diamati. Hanya di lomba inilah, pembalap sepeda jalan raya menggunakan sepeda yang dirancang untuk kenyamanan dan peredaman guncangan. Salah satu dari komponen yang dibuat khusus untuk Paris-Roubaix yang terkenal adalah penggunaan suspensi depan Rockshox oleh Greg Lemond tahun 1991. Bianchi dan Clark-Kent mengeluarkan sepeda bersuspensi ganda di tahun 1994. Kegagalan sepeda suspensi ganda di lomba tahun 1994 ini mengakhiri penggunaan suspensi aktif di Paris-Roubaix dan lomba balap sepeda profesional. Tahun 2005, pabrikan sepeda Trek membuat purwarupa sepeda dengan suspensi belakang yang digunakan oleh Viatcheslov Ekimov. Saat ini sepeda yang digunakan di lomba ini dengan suspensi aktif adalah Pinarello Dogma KS-8 yang digunakan tim Sky. Umumnya pabrikan sepeda menggunakan suspensi pasif berupa material serat karbon yang didesain fleksibel.

Di antara kemudahan dan kemajuan infrastruktur jalan, Paris-Roubaix mendapat tempat di kalangan penggemar sepeda. Sebagai lomba yang monumental, ia juga menjadi pengingat bahwa Perancis Utara sempat hancur akibat perang. Selain itu, ia juga menjadi saksi bisu bagaimana jalanan di masa abad 19 dibuat.


(Goestarmono)

Friday, May 20, 2016

Strade Bianche

Saat ini belahan bumi utara memasuki musim semi. Musim yang berganti berarti dimulainya musim lomba balap sepeda jalan raya setelah sebelumnya para pebalap banyak yang beralih ke lomba Cyclocross. Di musim yang mulai menghangat ini musim lomba balap sepeda jalan raya 2016 dimulai dengan rangkaian lomba Spring Classic dengan Strade Bianche sebagai pembuka pada tanggal 5 Maret ini.

Tidak banyak event balap sepeda yang menjadi terkenal dan jadwal yang dikejar pebalap papan atas. Kebanyakan balapan tersebut adalah balapan dengan sejarah penyelenggaraan dengan penyelenggaraan di atas 40 tahun, tidak demikian halnya dengan Strade Bianche. Event dengan nama lengkap Strade Bianche Eroica Pro baru memulai penyelenggaraan pertamanya tahun 2007. Apa menariknya lomba yang diselenggarakan di provinsi Siena, Italia ini hingga dalam waktu singkat berhasil meraih predikat 1.HC, satu tingkat di bawah World Tour yang merupakan puncak dari seri lomba dunia?

Lomba Strade Bianche (foto oleh Tim De Waele)
Ada beberapa kunci dari sukses Strade Bianche. Salah satu kunci sukses itu adalah rute yang dilalui. Balapan ini tidak hanya melulu menggunakan jalan aspal yang mulus sebagai jalur perlombaan. Nama Strade Bianche yang berarti jalan putih mengacu pada beberapa bagian jalan berkerikil putih khas daerah Tuscany dengan total panjang 52 kilometer dari 176 kilometer total panjang lomba.

Strade Bianche dimulai dan berakhir di kota Siena, sebuah kota yang mendapat predikat Unesco World Heritage Site. Keunikan lomba ini adalah lokasi finish di Piazza del Campo, tempat diselenggarakannya balap kuda tanpa pelana, Palio di Siena yang termasyhur. Sebelum mencapai garis finish, penonton lomba diberi tontonan aksi para pebalap menanjak di jalan sempit dengan kemiringan hingga 16 persen.


Rute yang indah dan unik ini mulai digunakan sejak 1997 sebagai lomba rekreasi Granfondo. Tahhun 2007, RCS Sport, penyelenggara Giro d’Italia sebagai panitia lomba mulai menyelenggarakan balap sepeda profesional dengan nama Monte Paschi Eroica, dari nama bank Monte Paschi de Siena yang menjadi sponsor lomba.

Lomba perdana yang diselenggarakan bulan Oktober ini dipindahkan ke bulan Maret pada edisi berikutnya sehingga menjadi event pembuka musim lomba. Jadwal baru ini lebih awal dari lomba klasik lainnya, Milan-San Remo yang diselenggarakan akhir Maret. Penjadwalan ini menjadi kunci kedua yang menyebabkan para pembalap papan atas dunia menunggu untuk berpartisipasi di lomba ini.

Dalam waktu singkat, tidak sampai satu dekade, lomba ini berhasil meraih predikat 1.HC, predikat yang sangat sulit diraih bahkan oleh lomba yang telah berjalan puluhan tahun. Daftar pemenang Strade Bianchi yang masih pendek pun didominasi oleh pebalap papan atas dunia. Fabian Cancellara yang tahun ini memperkuat tim Trek-Segafredo adalah satu-satunya pebalap yang pernah memenangi lomba ini lebih dari sekali. Nama lain yang menghiasi daftar yang pendek itu adalah juara dunia jalan raya 2014 Michal Kwiatkowski dari Polandia yang memenangi lomba ini di tahun 2014 serta juara Cyclocross 2014 Zdenek Stybar (Republik Cek) yang memenangi Strade Bianche tahun lalu.

Kunci terakhir dari kesuksesan Strade Bianche adalah kepercayaan diri penyelenggaranya. Sejarah lomba yang belum panjang dan kemiripan dengan lomba lain yang terkenal biasanya membuat panitia mengasosiasikannya dengan lomba lain yang lebih terkenal. Melakukan promosi Strade Bianche sebagai Paris Roubaix-nya Italia misalnya, menunjukkan lomba klasik baru ini inferior terhadap lomba yang diasosiasikan. Dengan tidak membandingkannya dengan lomba lain menunjukkan Strade Bianche bisa bersaing atau bahkan mengalahkan popularitas lomba lain yang lebih mapan.


(Goestarmono)