Monday, May 26, 2014

Fat Bike


Cerita tentang sepeda seakan tak ada habisnya. Di balik beragam jenis sepeda selalu tersimpan cerita tentang evolusi dan penciptaannya. Demikian pula dengan fat bike. Sepeda jenis ini terlihat dengan jelas dari ukuran bannya. Rasanya Charlie Kelly harus mencari judul baru dari newsletter tentang sepeda gunungnya, Fat Tyre Flyer, seandainya ia mengetahui adanya genre sepeda fat bike di masa kini. 

Ya, sepeda gunung dengan ban berukuran sekitar 2 inci menjadi “kurus“ dibandingkan dengan ban fat bike yang berukuran 3,75 sampai 4,8 inci ini. Sejarah fat bike dimulai dari dua tempat terpisah di Amerika Serikat. Di tempat yang dingin di Fairbanks, Alaska dan gurun pasir New Mexico yang panas dapat kita telusuri akar dari evolusi sepeda gendut ini.
Adalah Simon Rakower, pemilik All-Weather Sports di Fairbanks, Alaska yang menjadi salah satu pemain utama dari sejarah fat bike. Di tahun 1987, ia bekerja sebagai pendukung teknis di acara Iditasports (yang saat ini menjadi Iditabike), sebuah balapan antara Anchorage ke Nome di Alaska. Balapan yang dapat berjalan hingga 30 hari ini menembus dinginnya benua Arktik dengan medan bersalju dan es. 

Untuk menembus medan tersebut dibutuhkan ban sepeda yang cukup besar sehingga Simon mengelas dua buah pelk sepeda dan memotong bagian tengahnya untuk menciptakan pelk sepeda berukuran 44 milimeter. Setelah antusiasme meningkat, Simon memproduksi pelk dengan lebar 44 milimeter dari awal, ukuran 44 milimeter ini adalah ukuran maksimal yang masih bisa digunakan di sepeda biasa. 

Di bagian lain Amerika Serikat, Ray Molina menggunakan rangka sepeda, ban berukuran 3,5 inci dan pelk 80 milimeter yang dibuat khusus untuk menjalankan jasa wisata bersepeda di padang pasirnya.
Untuk beberapa tahun lamanya calon pengguna fat bike harus memodifikasi sepedanya atau membeli suku cadang sepeda yang dibuat khusus dengan harga yang cukup mahal. Ini berubah di tahun 2005, saat dua bersaudara Evingson, John dan Matt berhasil meyakinkan distributor sepeda terbesar di Amerika Serikat, QBP, untuk memproduksi suku cadang sepeda fat bike

John sebelumnya adalah pengrajin fat bike dari Alaska, sementara Matt bekerja untuk QBP di Minnesota. Mereka berhasil meyakinkan QBP untuk mengisi ceruk pasar fat bike yang belum tergarap. Di tahun tersebut Matt Evingson menjuarai Arrowhead 135, balapan ultra marathon di Minnesota menempuh jarak 135 mil (216 kilometer) menggunakan sepeda dan suku cadang fat bike dari merk Surly, salah satu merk yang dimiliki QBP.
Dua cerita tentang sejarah fat bike ini mengungkap keunggulan fat bike. Ban fat bike yang berukuran besar membuat sepeda tetap mengambang saat menempuh lintasan yang lembut seperti salju, pasir, pantai, lumpur, hingga rawa. Bagaimana dengan di Indonesia? Walaupun Indonesia beriklim tropis dan tidak memiliki wilayah gurun pasir, namun ternyata antusiasme pesepeda akan sepeda jenis ini cukup tinggi. Sebuah pabrikan lokal bahkan telah merilis sepeda jenis ini.
Fat bike memang menyajikan sensasi bebeda saat mengendarainya. Dengan tekanan ban yang hanya 20 psi, bahkan bisa diturunkan hingga 5 psi memungkinkan fat bike menghilangkan getaran dari jalanan seperti kerikil dan akar. Selain kenyamanan, kontak dengan tanah yang besar membuat fat bike mempunyai traksi yang besar pula sehingga tidak bermasalah untuk bersepeda di pasir, lumpur, bahkan di permukaan keras, licin, dan berlumut akibat jarang dilalui.
Aplikasi lain yang akan menjadi kelebihan fat bike adalah kerenggangan antara ban dan rangka yang cukup besar. Di beberapa tempat di Indonesia terdapat lintasan yang terdiri dari lempung dan mudah menempel di sepeda. Lempung dapat membuat macet sepeda akibat tanah yang terjepit antara ban dan rangka. Untuk menaklukkan lintasan itu, bisa saja pesepeda menggunakan fat bike dengan roda sepeda gunung biasa untuk mengatasi masalah lempung yang menempel tersebut.
(Goestarmono, dimuat sebagai Cyclepedia, Back2boseh Pikiran Rakyat, 18 Mei 2014)
Balap Fat Bike (diambil dari Camping with Suzi)

Monday, May 19, 2014

Pebalap Indonesia di Seri World Cup Downhill

Popo & Fitriyanti Riyanti (Patrol Mountain FJC Team)
Tidak banyak pebalap Indonesia yang pernah mengecap ketatnya persaingan di seri World Cup sepeda gunung. Di tahun 2014 ini, tim Patrol Mountain FJC berkonsentrasi mengikuti pertandingan di luar negeri, termasuk seri World Cup di Cairns, Australia, 24-27 April 2014 yang lalu. Manajer tim Andre Palmer, menceritakan kepada Back2boseh tentang pengalaman tim di antara pebalap profesional yang sudah malang melintang di ajang kelas dunia.
Di seri kedua World Cup tersebut, Patrol Mountain FJC menurunkan sepasang pebalap, Popo Ario Sejati, peraih medali emas downhill putra SEA Games 2011 di Jakarta, serta Fitriyanti Riyanti, yang sering dipanggil Cibenk, peraih medali perak downhill putri SEA Games 2011. Selain di ajang SEA Games, mereka sudah meraih juara seri nasional sebanyak empat kali di masing-masing kategori.
Fitriyanti Riyanti
Perjalanan tim dimulai saat meninggalkan Jakarta tanggal 20 April dan tiba di Cairns esok siangnya dalam cuaca cerah dan suhu sekitar 24 derajat Celsius. Karena di ajang seri dunia pebalap tidak boleh mencoba lintasan, pebalap tuan rumah yang tergabung di pabrikan Indonesia, Tracey Hannah menunjukkan lintasan downhill lain, Kuranda, yang berada dekat lintasan lomba. Lintasan tersebut rupanya juga digunakan pebalap lain untuk berlatih dan beradaptasi sebelum rangkaian lomba dimulai pada hari Kamis.
Selasa itu, Popo melakukan 8 kali latihan, dan puas dengan sepeda dan setting yang digunakan. Namun tidak begitu dengan Cibenk, ia terlihat memegang pergelangan tangannya. Pemeriksaan dokter dilakukan dan terdapat kemungkinan retakan di tulang schapoid, tulang terkecil di pergelangan tangan, dan berada di belakang jempol. Dokter merekomendasikan telapak tangan Cibenk untuk digips. Masih ada harapan Cibenk dapat ikut serta di lomba hari Sabtu nanti.
Sesi Trackwalk

Keesokan harinya pebalap diperbolehkan melakukan trackwalk. Di sesi ini pebalap diperbolehkan melihat lintasan dengan berjalan kaki. Pengalaman saat bertanding di Val di Sole, Italia membuat tim masuk ke lintasan di kesempatan pertama pada pagi hari, menghindari banyaknya pebalap yang juga akan mengecek keadaan lintasan.
Lintasan lomba dimulai dengan beberapa tikungan switchback, atau tikungan patah, diikuti dengan turunan curam dengan sudut masuk yang sulit. Setelah itu pebalap menghadapi bagian yang cukup cepat hingga pebalap tuan rumah Chris Kovarik bisa mencapai kecepatan 74 kilometer per jam. Bagian ini ditutup dengan sebuah rock garden. Tim mengambil foto untuk mempelajari lintasan lebih baik lagi di hotel.
Cibenk mendapat perawatan
Tibalah saat sesi latihan. Pebalap di kelas junior, putri, dan pebalap dengan ranking di atas 100 dimasukkan dalam grup B, terpisah dari pebalap putra unggulan. Saat sesi latihan untuk grup ini, pebalap sepeda menyelesaikan lintasan dalam kondisi penuh lumpur walau bagian bawah lintasan masih kering. Sulitnya lintasan menyebabkan tidak ada pebalap di grup ini yang menyelesaikan lintasan tanpa terjatuh. Gips di tangan Cibenk pun dibuka. Namun setelah mencoba sepedanya, manajer tim, Andre Palmer memutuskan Cibenk untuk tidak jadi bertanding sebagai pencegahan bertambah parahnya cedera. Walau sesi latihan berlangsung dalam kondisi basah, Popo memutuskan untuk tetap menggunakan ban kering yang memiliki traksi lebih baik di lintasan akar dan batu.

Hari Kamis diselenggarakan babak kualifikasi. Popo harus masuk ke dalam peringkat 80 besar untuk ikut bertanding di babak final yang akan diselenggarakan hari Sabtu. Satu kali latihan sebelum kualifikasi, Popo menemukan lintasan yang semakin sulit karena jalur air yang semakin dalam, dan tebalnya lumpur setelah rock garden.
Popo

Dalam seri dunia terdapat layar besar yang menampilkan catatan waktu masing-masing pebalap. Popo berhasil masuk ke peringkat 59 di split pertama, cukup untuk ikut bertanding di babak final. Namun nomor 86 milik Popo tidak terpampang di layar pada hasil split ke dua, bahkan hingga peserta nomor 87 menyentuh garis finish. Masalah mekanis yang dialaminya di rhythm section membuat Popo harus melepas targetnya ikut berlaga di babak final.
Lomba pun akhirnya dimenangkan kakak beradik George dan Rachel Atherton dari Inggris.
 (Goestarmono)


















Thursday, May 1, 2014

Kakak beradik merajai podium World cup Sepeda Gunung

Kakak beradik dari Inggris yang tergabung dalam tim GT Factory Racing, George dan Rachel Atherton berhasil mengawinkan gelar juara dalam seri World Cup Sepeda Gunung nomor downhill. Kejuaraan ini diselenggarakan di Cairns, Australia, 24-27 April 2014.

Cuaca di Cairns berganti antara berawan dan hujan. Keadaan ini membuat lintasan lomba selalu berada dalam keadaan basah. Lumpur yang cukup tebal, akar, dan batuan, membuat lintasan lomba menjadi licin baik untuk nomor downhill di hari Sabtu atau cross country di hari Minggu.

Licinnya lintasan memakan korban juara dunia tiga kali Greg Minaar (Afrika Selatan/Santa Cruz Syndicate). Ia terpaksa didiskualifikasi akibat tidak kembali mengulang di titik semula saat menabrak pita pembatas lintasan pada babak final. Begitu pula wakil Indonesia, Popo Ario Sejati dan Fitriyanti Riyanti (Patrol Mountain FJC). Fitriyanti terpaksa membatalkan keikut sertaannya karena mengalami cedera tangan saat latihan, sementara Popo yang sempat berada di posisi 59 di Intermediate 1 kualifikasi terpaksa tidak finish di babak tersebut akibat kerusakan di sepedanya.

George yang saat babak kualifikasi berada pada posisi ke enam menyelesaikan lintasan berjarak 1,9 kilometer dalam waktu 4 menit 0,707 detik, lebih cepat 4,229 detik dari rekan senegaranya Josh Bryceland (Santa Cruz Syndicate). Posisi ke tiga diraih oleh Neko Mulally (Amerika Serikat/Trek World Racing) yang menyelesaikan lintasan dengan waktu 4 menit 7,637 detik.

Di bagian putri Rachel mendominasi babak kualifikasi dan final. Ia memenangkan babak final dengan waktu 4 menit 50,576 detik. Di posisi kedua menempel ketat juara seri I yang juga rekan senegara Rachel, Manon Carpenter (Madison Saracen Factory Team). Manon, yang juga meraih posisi dua di babak kualifikasi mencatat waktu 5 menit 02,231 detik. Tempat ketiga diduduki oleh Myriam Nicole (Prancis / Commencal).
Di nomor cross country Julien Absalon (Prancis / BMC) kembali mengulang prestasinya di Afrika Selatan dengan menyelesaikan lintasan sejauh 31 kilometer dalam waktu 1 jam 38 menit dan 22 detik. Walaupun sempat mengalami kemps ban di lap ke 2, ia berhasil mengalahkan Mathias Flückiger (Swiss / Stöckli) dan Maxime Marotte (Prancis / BH-Suntour-KMC) yang meraih podium kedua dan ketiga.

Eva Lechner (Italia / Colnago Sudtirol) memenangkan nomor cross country putri dengan menyelesaikan lima lap yang berjarak 26,1 kilometer dalam waktu 1 jam 38 menit 48 detik. Ia mengalahkan Emily Batty (Amerika Serikat /  Trek Factory) dan Irina Kalentieva (Rusia) yang meraih podium kedua dan ketiga.

Selain nomor Cross country dan Downhill yang merupakan seri kedua World cup, event ini juga melombakan seri pertama nomor Cross country Eliminator yang dimenangkan pembalap Samuel Gaze (Selandia Baru) di bagian putra dan Alexandra Engen (Swedia / Ghost Factory Racing) di bagian putri


(Goestarmono)