Friday, December 26, 2014

Coastal Crew dan Menjadi Diri Sendiri

Coasteal Crew di APDHC 2014
Ajang lomba balap downhill yang diselenggarakan secara internasional telah diselenggarakan di Bukit Tengah, Klungkung, Bali tanggal 9 November lalu. Pada ajang ini, beberapa atlet profesional dari seluruh dunia sudah rutin hadir. Para pembalap downhill yang mewakili berbagai pabrikan sepeda terkemuka dunia menunjukkan kemampuan mereka bersama pembalap dari Indonesia.

Untuk tahun ini ada yang berbeda. Salah satu pabrikan membawa freerider mereka. Dylan Dunkerton, Curtis Robinson, dan Kyle Norbraten, pesepeda gunung dari Sunshine Coast, British Columbia. Mereka adalah Coastal Crew.

Curtis Robinson
Pertemanan mereka bermula dari masa sekolah. Dylan dan Curtis bersekolah di sekolah yang sama. Sementara itu, Kyle Norbraten menjadi teman mereka setelah pindah ke Sunshine Coast tahun 2007 untuk mengembangkan kegiatan bersepeda di Capilano University.

Mereka suka bersepeda gunung, dan melakukannya di tempat kelahiran genre freeride membuat kemampuan mereka terasah. Hal itu membuat Andrew Shandro, mengajak mereka untuk memulai Summer Gravity Camp 14 tahun yang lalu. Di camp ini mereka melatih peserta untuk bersepeda gunung dengan benar dan meningkatkan kemampuan mereka sehingga bisa menikmati kegiatan bersepeda gunung. Tak terhitung banyaknya peserta dari seluruh penjuru dunia yang pernah mengikuti camp ini.

Dylan Dunkerton
Pelajaran fotografi yang mereka pelajari di sekolah menjadi langkah berikutnya. Teknik fotografi itu mereka adopsi untuk mendokumentasikan kegiatan mereka bersepeda gunung di pegunungan sekitar Sunshine Coast, British Columbia dalam bentuk video. Satu hal berlanjut ke hal lain. Mereka bertemu dengan Bjorn Enga, pendiri Radical Film. Tahun 2007 Bjorn membuka studio di Sunshine Coast.
Dylan, Curtis, dan Kyle terlibat dalam pembuatan video Kranked 7 tahun tersebut. Di seri berikutnya, Kranked 8 yang dirilis tahun 2009, mereka ikut serta bersepeda di dalam video tersebut. Saat itulah Bjorn memberi mereka nama Coastal Crew, pesepeda dari Sunshine Coast. Setelah mereka membantu Bjorn, tahun 2011 mereka merilis video mereka sendiri “From the Inside Out”dilanjutkan dengan “Arrival”tahun 2013.

Kyle Norbraten
Besarnya komunitas sepeda gunung di British Columbia membuat destinasi utama sepeda gunung seperti Whistler Blackcomb menjadi terlalu penuh untuk dinikmati. Salah satu yang merasa seperti itu adalah Darren Hemstreet. Suatu hari, Darren beserta keluarganya pergi ke Whistler Blackcomb untuk bersepeda gunung. Panjangnya antrian di setiap lift pengangkut sepeda membuatnya menghabiskan waktu untuk mengantre, dan bukan bersepeda. Bersamaan dengan itu pula ia berpikir tentang banyaknya uang yang didapat dari resort tersebut, dan berpikir mengapa ia tidak membuatnya di dekat rumahnya di Sunshine Coast.

Coastal Crew, Darren Hemstreet, dan crew Coast Gravity Park lainnya
Darren adalah kontraktor dan operator alat berat dari Sunshine Coast. Perjalanan sekitar 150 kilometer ke Whistler itu membuatnya mengajak Coastal Crew membangun sebuah bike park di Sechelt, Sunshine Coast. Setelah satu setengah tahun mereka bekerja menggali, membangun lintasan dan rintangan, akhirnya bike park tersebut, Coast Gravity Park resmi dibuka September 2013. Saat ini Coast Gravity Park memiliki 12 lintasan berbeda yang mengakomodir pesepeda gunung dengan berbagai tingkatan keahlian dari lintasan yang lebar dan mulus hingga lintasan untuk pesepeda profesional dengan berm, gap, dan jump raksasa.

Curtis Robinson
Dari berbagai hal yang Coastal Crew lakukan, mereka berhasil mendapatkan sponsor dan mendapat penghasilan yang bisa menyokong kehidupan mereka. Menurut Dylan, selain kecepatan, kesulitan trik yang dilakukan, tingginya lompatan atau drop, sponsor juga membutuhkan orang yang dapat diasosiasikan seperti pesepeda gunung pada umumnya. Orang-orang yang selalu menikmati bersepeda gunung dan mau membantu orang lain untuk menikmati bersepeda gunung pula.

(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 7 Desember 2014)

Friday, October 17, 2014

Gravel Bike

Hampir semua pesepeda sepakat, sepeda balap adalah sepeda yang paling efisien untuk menempuh jarak yang jauh dalam kecepatan yang tinggi. Penggunaan komponen ringan dan aerodinamis membuat pebalap sepeda dapat mengembangkan kecepatan rata-rata yang cukup tinggi. Dalam ajang Tour de France misalnya, pebalap menyelesaikan lomba dalam kecepatan rata-rata 40 kilometer per jam untuk menyelesaikan jarak 3.644 kilometer yang dibagi dalam 21 etape, atau rata-rata 173 kilometer per hari.

Sayangnya sifat balap sepeda yang relatif mengadu kemampuan atlet dan bukan teknologi sepeda membuat sepeda balap harus diperlakukan khusus. Ban sepeda misalnya, dengan lebar hanya 23 milimeter membuatnya mudah kempes saat digunakan di jalan yang kurang mulus. Saat digunakan untuk lomba memang tidak terlalu mengganggu karena fisik pebalap yang relatif lebih baik sehingga mampu mengendalikan sepedanya menghindari buruknya jalan, atau meredam getaran dengan tangan dan kakinya. Kalaupun terjadi kempes ban, di belakang rombongan pebalap telah siap mobil pendukung dengan mekanik yang siap mengganti roda sepeda. Tapi hal itu tidak selalu didapatkan pesepeda biasa. Saat ban 23 milimeter kempes waktu bersepeda sendirian, perjuangan mengganti ban dalam dan memompa hingga 120 psi dengan mini pump toh harus dilakukan sendiri.

Sedikit titik cerah dari masalaha ini adalah ramainya event Gran Fondo di Amerika Serikat. Event yang berasal dari Italia ini membawa pesepeda melalui daerah dengan pemandangan indah (Gran Fondo). Event ini biasanya menempuh jarak hingga 100 mil (sekitar 160 kilometer) di kelas utamanya. Peserta event ini dilepas massal, tidak menutup jalan dari lalu lintas, menggunakan penghitung waktu elektronik dan menggunakan aid station sebagai pengganti mobil pendukung. Karena sifat lomba tersebut, pebalap harus mandiri menghadapi masalah yang terjadi di jalan.

Selain sifat lombanya, lintasan balap pun tidak semulus jalan yang digunakan lomba jenis Tour. Karena tidak menutup jalan dari lalu lintas, penyelenggara banyak menggunakan jaringan jalan yang tidak diaspal. Di Amerika Serikat ada dua juta kilometer jaringan jalan yang tidak diaspal. Contoh jalan yang biasa digunakan adalah fire road, jalan yang digunakan Dinas Kehutanan untuk inspeksi dan memadamkan kebakaran hutan.

Awalnya sepeda cyclocross adalah sepeda pilihan utama untuk mengikuti lomba Gran Fondo, seperti juga ditunjukkan oleh sepeda yang digunakan Dan Hughes dan Rebecca Rusch, pemenang Dirty Kanza 200, event lomba sejauh 320 kilometer melalui gravel di Kansas. Namun di pameran sepeda terkemuka seperti Eurobike dan Interbike, beberapa pabrikan akan meluncurkan sepeda yang dibuat untuk event ini. Sepeda seperti Giant Revolt, Specialized Diverge, dan GT Grade didesain untuk lomba jenis ini menyusul sepeda yang sudah lebih dulu menyasar jenis ini seperti Salsa Warbird dan Kona Rove.

Dengan bottom bracket yang lebih rendah, sepeda jenis ini lebih stabil daripada sepeda cyclocross. Perbedaan lainnya adalah ruang untuk ban yang lebih besar. Jalanan berkerikil yang dilalui membuat pebalap menggunakan ban yang lebih lebar, umumnya ukuran yang digunakan adalah 700x40. Perbedaan lainnya adalah rem yang lebih handal. Mulai meluasnya penggunaan rem cakram di lomba cyclocross dan sebentar lagi di balap jalan raya membuat gravel bike ditawarkan dengan menggunakan rem cakram. Rem cakram memungkinkan pengereman yang konsisten dan tetap bekerja saat roda mengalami masalah dengan jari-jari .

Memang belum ada event Gran Fondo atau event serupa di Indonesia, namun ada kegiatan yang dapat dilakukan dengan sepeda yang didesain untuk lomba ini. Banyak pesepeda yang belum berani menggunakan sepeda balap karena terintimidasi tipisnya ban yang digunakan sehingga belum menikmati efisiensi kayuhan sepeda balap. Gravel bike menyajikan efisiensi yang mendekati sepeda balap dengan kehandalan lebih baik dari ban yang lebih lebar dan rem cakram. Bonus lainnya adalah banyak pabrikan yang juga menyematkan dudukan untuk rak sehingga memungkinkan pemasangan pannier untuk membawa bawaan saat turing.


Dinamika sepeda dan aktifitasnya memang menarik. Tak kalah menariknya juga antisipasi pabrikan atas hal itu. Pada akhirnya pesepeda juga yang bisa menikmati inovasi pabrikan tersebut dan memulai inovasi baru untuk aktifitas lain

(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 12 Oktober 2014)

Friday, October 3, 2014

Bersepedalah Sejak Dini

Masa kanak-kanak adalah masa paling penting untuk perkembangan anak-anak. Saat ini adalah saat terbaik untuk mengajarkan kebiasaan baik, salah satunya adalah kegiatan bersepeda.

Kapan sebenarnya anak-anak dapat mulai belajar bersepeda? Bersepeda dapat mulai diajarkan kepada balita pada umur 2 tahun dengan menggunakan sepeda tanpa pedal atau disebut push bike. Dengan sepeda ini, balita dapat belajar menyeimbangkan badannya di atas dua roda tanpa dibebani dengan gerakan mengayuh. 

Saat balita bisa berjalan atau berlari, gerakan itu sudah akrab dengan balita tersebut, dan dapat digunakan untuk menggerakkan sepeda. Dan saat sepeda sudah bergerak, balita dapat meluncur dengan bebas dan mempelajari keseimbangan di atas dua roda.

Gerakan meluncur ini masih terpakai hingga dewasa dalam bentuk bersepeda di turunan, bersepeda BMX di arena, atau kegiatan bersepeda lain yang belum memerlukan gerakan mengayuh. Setelah anak menguasai pushbike, barulah anak dapat beralih mempelajari gerakan mengayuh pedal untuk menggerakkan sepedanya.

Pada umur di bawah lima tahun anak mulai mempelajari hal-hal yang penting untuk masa yang akan datang. Anak mulai menyerap kemampuan motorik kasar sebelum umur dua tahun. Setelah itu balita belajar bersosialisasi dan mulai berteman. Bersepeda memberikan anak kesempatan untuk melakukan kegiatan positif, serta bersosialisasi dengan teman sebayanya.

Dengan kondisi lingkungan saat ini sangat sulit bagi orang tua untuk mengajarkan bersepeda bagi anak-anaknya. Padatnya arus lalu lintas bahkan hingga jalan perumahan membuat para orang tua berpikir dua kali untuk membiarkan anaknya bersepeda sendiri. Selain padatnya lalu lintas, umur pakai sepeda anak yang relatif pendek juga membuat orang tua malas untuk membelikan sepeda sesuai umur dan ukuran badan anaknya. Padahal sepeda yang terlalu besar (atau terlalu kecil) akan menyulitkan anak belajar bersepeda.

Kendala itu tentu saja harus dicari solusinya. Tempat belajar bersepeda yang aman harus tersedia di lingkungan kota. Taman di perumahan, taman kota, hingga taman komersial di tempat rekreasi bisa menjadi alternatif tempat belajar bersepeda untuk anak.

Bersepeda adalah kegiatan positif untuk anak. Dengan bersepeda anak dapat belajar bersosialisasi, disiplin, dan ketaatan terhadap aturan. Saat anak belajar bersepeda di tempat umum, ia bisa belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya dan bersepeda bersama. Saat itu juga ia bisa mendapatkan teman baru dari lingkungan dan kalangan yang berbeda.

Ajari Taat Aturan

Setelah anak mahir bersepeda, ia dapat belajar disiplin dan ketaatan terhadap aturan berlalu lintas. Saat itu juga ia akan belajar mengenai penyelesaian masalah (problem solving) saat terjadi masalah dengan sepedanya atau tempat tujuan yang diinginkannya.

Tugas orang tua adalah memastikan anak belajar bersepeda secara aman dan dalam suasana menyenangkan. Pastikan sepeda yang digunakan tidak membahayakan anak. Tutup komponen sepeda yang tajam dan menonjol seperti ujung as roda dan stang sehingga tidak dapat melukai anak. Stel sepeda sehingga nyaman digunakan anak, misalnya dengan menaikkan atau menurunkan seatpost.

Semangati anak untuk tetap belajar sepeda. Kunci keberhasilan anak dalam belajar bersepeda adalah suasana yang menyenangkan. Terkadang orang tua harus lebih sabar dalam menjaga suasana hati anak untuk tetap belajar bersepeda, atau menahan keinginan untuk memaksa anak untuk belajar sepeda, namun belajar bersepeda saat suasana hati anak sedang tidak baik mungkin saja tidak akan berhasil mendorong anak untuk bersepeda.

Saat anak sudah bersepeda, ini adalah berkah yang dapat membuat semangat orang tua untuk juga bersepeda meningkat. Lagi pula, bukankah lebih nikmat jika kita dapat bersepeda tanpa meninggalkan keluarga?


(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 21 September 2014)

Friday, September 26, 2014

Perjalanan 1.350 Kilometer untuk Lestarikan Lingkungan

Tanggal 23 Agustus hingga 7 September lalu, Greeners menyelenggrakan turing bersepeda dari Jakarta menuju Denpasar, Bali. Turing berjarak kurang lebih 1.350 kilometer ini sengaja diadakan sebagai perayaan ulang tahun yang ke 9 Greeners. Angka 9 pula yang mendasari jumlah pesepeda dan jumlah kota di mana tim melakukan temu komunitas dan dialog lingkungan.

9 pesepeda melakukan turing dengan mobil pendukung (supported touring). Mereka adalah perwakilan dari Bike to Campus, Greeners, dan perwakilan sponsor perjalanan. Tim juga dibantu seorang pendukung, Cucu Hambali (Kang Cuham) yang bertugas membantu tim dari dalam mobil, dan terkadang ikut bersepeda menggantikan tim yang melakukan tugas tertentu.

Penanaman pohon di Jombang
Perjalanan yang didukung Deputi VI bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Kementrian Lingkungan Hidup ini juga mencakup pertemuan dengan komunitas sepeda dan lingkungan di beberapa kota yang dilalui. Di luar 9 kota tersebut, tim bermalam di Wangon, Purwodadi, Gilimanuk, dan Tabanan sesuai rencana perjalanan untuk keperluan istirahat.

Perjalanan dimulai dengan “pemanasan” melahap jalur Puncak pada hari Sabtu. Kombinasi kemacetan dan tanjakan berhasil menguras fisik tim, mengakibatkan Pacet sebagai tempat tujuan baru bisa dicapai pada malam hari.  Semakin hari melakukan perjalanan, ternyata kemacetan masih mewarnai perjalanan hingga Jawa Tengah bagian barat. Di wilayah Puncak ini pertemuan dengan Komunitas Hulu Ciliwung mengungkap perlunya pemetaan yang jelas terhadap tata ruang kawasan Puncak.

Lumpur Lapindo
Hari-hari berikutnya perjalanan masih diwarnai kemacetan dan tanjakan, walau tanjakan yang dihadapi tidak seberat etape pertama, namun kontur perbukitan Jawa Barat masih menyisakan beberapa tanjakan seperti di Citatah, Cicalengka, Malangbong, dan Lumbir di Jawa Tengah.

Kemacetan yang dihadapi bertambah akibat rusaknya jembatan Comal di jalur utara menyebabkan berpindahnya jalur perjalanan truk pengangkut berukuran besar dari jalur utara ke jalur selatan yang dilalui tim. Fakta ini kami dapat saat kami berdiskusi dengan komunitas sepeda di Tasikmalaya di Gedung Telkom yang difasilitasi Telkom Cycling Club (TCC) dan dihadiri 6 komunitas sepeda lainnya. Selain belum berfungsi penuhnya jembatan Comal, kelangkaan BBM yang juga terjadi menyebabkan SPBU sepanjang jalur Jawa Tengah bagian barat hingga Yogyakarta menjadi titik pusat kemacetan baru yang harus kami hadapi.

TN Baluran
Kemacetan itu sedikit berkurang saat tim membelokkan perjalanan menuju jalur Daendels mendekati pantai selatan Jawa Tengah. Namun hilangnya kemacetan itu harus dibayar dengan angin yang cukup kencang, walau tidak sekencang yang diantisipasi sebelumnya. Perjalanan pun masih dilalui dengan kecepatan rendah, dengan jarak 120 kilometer, perjalanan Wangon – Purwodadi diselesaikan tim sekitar pukul delapan malam. Hampir sama dengan saat kami melakukan etape pertama dengan lintasan yang menanjak dan macet.
Kecepatan baru meningkat pada etape pendek Purwodadi – Yogyakarta dan setelah istirahat satu hari penuh di Yogyakarta. Tanjakan yang sudah sedikit kami jumpai, kemacetan yang mulai menghilang, dan fisik yang sempat beristirahat menyebabkan kami dapat meningkatkan kecepatan, walau belum optimal untuk turing dan pendataan masalah lingkungan. Kurangnya persiapan fisik dan kerjasama tim menjadi penyebab kecepatan tidak optimal sepanjang perjalanan turing ini.

Dalam perjalanan ini pula, kami mendapati kenyataan semakin ke timur, penataan dan kebersihan kota semakin membaik. Sepertinya pemerintah kota di Jawa Barat dapat berkaca pada kota-kota di belahan timur pulau Jawa dan di pulau Bali.

Beberapa obyek juga menjadi target kunjungan tim. Lokasi semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo adalah salah satunya. Tidak tuntasnya penyelesaian masalah, serta matinya kehidupan warga sekitar menyebabkan tim rela membelokkan perjalanan untuk mengunjungi bendung yang baru-baru ini gagal membendung naiknya permukaan lumpur.

Obyek lainnya adalah Taman Nasional Baluran. Habitat 444 jenis tanaman, 26 jenis mamalia, 155 jenis burung termasuk binatang dilindungi seperti Banteng, Macan Tutul, Kucing Bakau, dan Burung Merak ini juga menghangat akibat adanya rencana pembangunan smelter nikel PT. Situbondo Metallindo di dekat lokasi tersebut. Beberapa hari sebelum tim melalui TN. Baluran, Pro Fauna mengadakan aksi di tempat itu untuk menentang rencana pembangunan smelter tersebut.

Perjalanan kami berakhir di pulau Bali. Di pulau Dewata ini, Suriadi Darmoko, pegiat Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) memaparkan potensi kerusakan yang akan terjadi jika reklamasi teluk Benoa dilakukan kepada tim Greeners dan komunitas sepeda di Bali.

Selain isu aktual tersebut, tim juga mengkampanyekan pengurangan ketergantungan pada bahan bakar minyak. Panjangnya antrian di SPBU saat perjalanan seakan mengingatkan sebuah kalimat yang selalu diucapkan pada setiap temu komunitas. “Jika 1.350 kilometer dapat ditempuh dengan sepeda, tentu saja jarak yang lebih dekat seperti ke warung, kantor, kampus, atau sekolah dapat juga dilakukan tanpa kendaraan bermotor”

(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat, 14 September 2014)



Friday, September 19, 2014

Ranca Upas, Destinasi Alternatif Bersepeda

Ranca Upas, sebuah destinasi alternatif bersepeda di Bandung
Umumnya pesepeda kota Bandung lebih mengakrabi destinasi bersepeda di sebelah utara kota Bandung. Memang, jalur tanjakan dan suasana pedesaan berjarak lebih dekat ke arah utara kota daripada arah mata angin lainnya. Namun apakah sisi lain penyokong kota Bandung tidak layak jadi pilihan?

Bandung terletak di persilangan dengan jalan nasional menuju ibukota kabupaten dan propinsi lain di tiga arah, utara, barat, dan timur. Arah selatan kota Bandung mengarah ke ibukota Kabupaten Bandung, Soreang, dan berlanjut ke Ciwidey hingga pantai selatan Jawa Barat. Di Ciwidey terdapat satu destinasi yang layak dipertimbangkan, Ranca Upas, tepatnya bumi perkemahan Kampung Cai, Ranca Upas.

Kegiatan Bikecamping dapat dilakukan di Ranca Upas
Berada di kaki Gunung Patuha, bumi perkemahan yang dikelola PT. Perhutani ini berlokasi kurang lebih 45 kilometer dari kota Bandung. Menikmati fasilitas di Bumi Perkemahan Kampung Cai ini dapat dilakukan dengan biaya terjangkau, sementara fasilitas yang dapat disewa dengan biaya tambahan juga cukup lengkap, seperti tenda, sleeping bag, hingga kayu bakar.

Apa yang ditawarkan Ranca Upas untuk pengalaman bersepeda? Sesuai tempatnya, tentu tempat ini ideal untuk bike camping. Dengan jarak menengah dari kota Bandung, mencapai lokasi Ranca Upas tidak terlalu berat sehingga cocok untuk pesepeda pemula, namun juga tidak terlalu ringan untuk pesepeda yang sudah mahir karena masih menyajikan tanjakan hingga ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Kampung Cai Ranca Upas dapat dicapai dalam waktu kurang lebih setengah hari bersepeda.

Ketemu Youk Tanzil dari Ring of Fire di Ranca Upas
Pesepeda dapat kembali ke kota Bandung setelah bermalam dalam tenda yang dibawa dalam pannier, atau disewa dari pengelola. Sebagai bukti cocoknya tempat ini untuk bike camping, komunitas pengendara sepeda Federal merencanakan Jambore Nasional ke dua-nya di tempat ini. Suhu yang bisa mencapai 10 Celcius menjadi tantangan sendiri bagi fisik dan peralatan bike camper.

Bagaimana dengan disiplin bersepeda lain? Pesepeda gunung dapat menikmati lintasan yang berada dalam hutan binaan PT. Perhutani. Sayangnya saat ini belum ada lintasan sepeda gunung permanen di Ranca Upas. Pesepeda yang ingin bersepeda gunung harus menjelajah sendiri di antara bersilangnya jalan setapak di hutan tersebut. Lintasan dengan memanfaatkan jaringan jalan setapak tersebut juga digunakan untuk acara lomba MTB-XC di acara ulang tahun dan peluncuran logo sebuah perusahaan outdoor tanggal 17 Agustus 2014 kemarin.

Federalist Bandung Indonesia (FBI) di Ranca Upas
Alternatif lainnya adalah meluaskan penjelajahan hingga ke perkebunan teh Walini. Untuk menjelajah hingga perkebunan teh Walini dapat dilakukan dengan bersepeda sekitar 20 kilometer hingga kembali lagi ke Ranca Upas, bersepeda di kebun teh, dengan fitur batuan beku dan lintasan kerikil kasar menyajikan tantangan tersendiri.

Bagaimana dengan sepeda jalan raya? Area Kampung Cai, Ranca Upas memang miskin jalan mulus dan tidak seberapa luas. Namun penggemar sepeda jalan raya dapat bersepeda menuju pantai selatan Jawa Barat. Kemacetan yang terjadi hampir setiap waktu antara Bandung dan Soreang, serta kemacetan pada hari libur hingga Kawah Putih menjadikan Ranca Upas sebagai titik awal yang cocok untuk bersepeda menuju pantai selatan melalui Rancabali, Situ Patengan, Naringgul, dan mencapai pantai selatan di Cidaun, Kabupaten Cianjur.

Kemacetan yang hampir selalu terjadi memang membuat keengganan pesepeda untuk menjelajah Ranca Upas dan sekitarnya. Namun perjuangan memang menyuguhkan kenikmatan tersendiri, bagi pesepeda yang mencapai daerah tersebut akan diganjar oleh bersihnya udara dan suasana yang sepi.

(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 24 Agustus 2014)

Monday, July 14, 2014

Race Across America 2015

Pippa Middleton dalam RAAM (foto: Axelle/Bauer-Griffin/GC Images)


Pippa Middleton saat memulai lomba RAAM (foto: World Entertainment News Network)
Banyak pesepeda yang menempuh jarak jauh hingga ratusan bahkan ribuan kilometer. Namun bagaimana jika melakukan balapan berjarak ribuan kilometer? Dan ini bukan balapan yang terbagi atas etape seperti Tour de France, Tour de Langkawi, Tour de Singkarak, atau balapan lain yang masuk dalam kalender UCI.

Race Across America atau disingkat RAAM adalah balapan yang berlangsung dari pantai barat dan finish di pantai timur Amerika Serikat. Berbeda dengan balapan yang masuk dalam kalender UCI, RAAM dianalogikan sebagai balap ultra marathon bersepeda. Ini karena peserta tidak dibatasi oleh pembagian waktu dan jarak dalam etape. Selain beratnya lomba akibat jarak dan sifat lomba yang nonstop, tidak adanya penutupan jalur seperti lomba balap sepeda biasa juga membuat peserta harus lebih waspada terhadap lalu lintas di jalur yang dilalui.

Juara kategori perorangan Christoph Strasser saat melintas garis finish (foto: RAAM)
Saat bendera start dikibarkan, waktu terus berjalan hingga peserta mencapai finish. Manajemen waktu istirahat, makan, dan keperluan lain diserahkan kepada peserta dan waktu yang digunakan dihitung dalam lomba. Tidak heran, juara tahun 2014, Christoph Strasser dari Austria berhasil menyelesaikan jarak 4.860,2 kilometer hanya dalam waktu 7 hari 15 jam dan 56 menit.

Siapa orang di belakang balapan “gila” ini? Adalah John Marino yang mengorganisir acara “Great American Bike Race” pada tahun 1982. Sebelumnya, di tahun 1980 ia sudah menjalani lintasan dari pantai barat hingga pantai timur Amerika Serikat. Di tahun 1982, hanya empat orang kompetitor yang berlomba termasuk John Marino sendiri. Di lomba perdana ini, Lon Haldeman berhasil meraih waktu 9 hari 20 jam dan 2 menit untuk menjuarai Great American Bike Race yang berjarak 4.777 kilometer. John Marino sendiri finish terakhir dalam lomba ini


Di kemudian hari balapan ini semakin popular hingga stasiun televisi ABC menyiarkannya dalam acara Wide World of Sports mulai 1986. Untuk menambah partisipan, memasukkan unsur strategi dan teknologi, di tahun 1989 mulai dilombakan kategori tim. Selain itu kategori Human Powered Vehicle (HPV) juga dilombakan untuk menguji batas kemampuan kendaraan bertenaga manusia.

Beratnya lomba yang dinaungi oleh Ultramarathon Cycling Association (UMCA) ternyata tidak menyurutkan animo peserta. Tercatat 48 pebalap dan 51 tim kompetitor berlomba di tahun 2014 yang dimulai 10 Juni untuk perorangan dan 14 Juni untuk kategori tim.

Pippa Middleton saat memulai perjalanan RAAM 5.000 kilometer (foto: Mother Nature Network)
Di antara peserta terdapat kakak beradik Pippa dan James Middleton yang bertanding untuk tim Michael Matthew Foundation dalam kategori tim 8 orang. Pippa dan James adalah adik dari Kate Middleton, istri pangeran Williams dari Inggris. Nama tim mereka diambil dari pendaki Inggris yang tewas saat menuruni Gunung Everest setelah mencapai puncaknya. Michael Matthew Foundation bertujuan mengumpulkan dana untuk memberikan pendidikan bagi anak kurang mampu di seluruh dunia. Mereka finish di urutan 5 dengan waktu 6 hari 10 jam dan 54 menit pada dini hari jam 2:39 tanggal 21 Juni 2014.

Tim Legend of the Road yang diperkuat pebalap superbike, Ben Bostrom (foto: ESPN)
Selebritas lain yang mengikuti RAAM adalah pebalap Superbike Ben Bostrom. Ia terdaftar dalam tim 4 orang “The Legends of the Road” bersama freestyler BMX Dave Mirra, freestyle motocrosser Micky Dymond, dan mantan pebalap profesional Dave Zabriskie. Mereka berhasil memenangkan lomba kategori 4 orang dengan waktu 5 hari 11 jam dan 41 menit.


(Goestarmono/dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 13 Juli 2014)

Friday, July 11, 2014

Bob Haro

Bob Haro di tahun 1982 (foto: BMX Museum)
Pesepeda di Indonesia mungkin sudah akrab dengan sepeda bermerk Haro. Sepeda yang merknya diambil dari nama pendirinya, Robert “Bob” Haro itu adalah salah satu pelopor sepeda BMX, terutama untuk jenis freestyle. Namun tidak banyak yang tahu bahwa Bob Haro telah menjual perusahaannya tersebut dan beralih ke bisnis lainnya, termasuk mendirikan perusahaan sepeda dengan merk lain.

Bob Haro lahir di Pasadena, California, 29 Juni 1958. Besar di San Diego, keterlibatannya dalam BMX dimulai saat ia kehabisan uang untuk mengikuti balapan motocross. Sebagai pebalap motocross sebenarnya karirnya cukup baik. Hingga tahun 1975 ia telah mendapat 50 piala lomba motocross. Di tahun 1976, Bob pindah ke Stockton, Arizona karena perceraian orang tuanya. Di sana ia mulai membalap untuk Molina’s Bike Shop. Selain membalap ia juga kerap melakukan beberapa trik BMX, sesuatu yang belum umum dilakukan saat itu.

Jiwa bisnis Bob terlihat di tahun berikutnya, saat ia mulai menjual plat nomor start untuk balap BMX. Diberi label “Haro Factory Number Plate”, ini adalah cikal bakal Haro Bikes yang akhirnya menelurkan produk sepeda Haro Freestyler di tahun 1982.

Bob Haro
Selain memulai bisnis sepeda, ia juga membuat kartun untuk berbagai majalah BMX dan motocross hingga akhirnya ia menjadi ilustrator tetap di majalah BMX Action. Di majalah inilah ia bertemu RL Osborn, anak Bob Osborn, pemilik penerbit majalah tersebut yang juga pesepeda BMX.

Bersama RL Osborn ia mendirikan BMX Action Trick Team dengan debut awal di ABA Winternational 1978 di Chandler, Arizona. Tim ini juga telah menanam akar bagi disiplin sepeda BMX Flatland, dan bersama pemain skateboard mulai menggunakan kolam renang yang dikeringkan akibat krisis ekonomi Amerika Serikat, yang di kemudian hari berevolusi menjadi BMX Vert.
Bob Haro (foto: Julian Castaldi)

Tahun 1988, Bob menjual Haro Bikes walau tetap menjadi konsultan teknis di perusahaan tersebut hingga tahun 1993. Saat itu ia memutuskan untuk berkonsentrasi pada bisnis desain dan manajemen merknya. Hasil karya desain Bob terlihat di beberapa merk ternama seperti Oakley, JT Racing, dan Redline.

Saat BMX mulai dipertandingkan di olimpiade tahun 2008, Bob terlibat mendesain logo, desain, dan pakaian pebalap BMX untuk tim Amerika Serikat. Pada Olimpiade 2012, ia membantu Danny Boyle (sutradara “Slumdog Millionaire”, “28 Days Later”, “The Beach”, dan “Trainspotting”) mendesain koreografi untuk pembukaan Olimpiade.

Ia juga bekerja sama dengan Red Bull membuat Red Bull Revolution sebuah invitasi balap BMX yang diselenggarakan di Berlin, Jerman. Event ini menggunakan lintasan seperti balap BMX namun dengan rintangan yang lebih besar dan kecepatan yang lebih tinggi. Selain adu cepat, penghargaan juga diberikan kepada pebalap yang melakukan trik. Bob juga mendirikan pabrikan sepeda BMX baru, Ikonix.


(Goestarmono/dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 29 Juni 2014)




Tuesday, July 8, 2014

C2AM Challenge, Bukan Sepeda Santai Biasa

Peserta C2AM Challenge #5. Photo oleh Suhadi Haryanto
Tidak banyak event yang berulang dalam waktu yang cukup lama. Salah satunya adalah Cycling Community All Mountain (C2AM) Challenge. Event ini diselenggarakan untuk kali ke lima, Minggu (15/6/2014) lalu.

Apa yang ditawarkan  Ride Bike Project sebagai panitia sehingga bisa bisa sukses menyelenggarakan C2AM Challenge hingga 5 kali? C2AM Challenge adalah sebuah adventure ride, bukan sebuah kompetisi, namun juga bukan sebuah acara sepeda santai.

Acara itu diikuti oleh sedikitnya 600 goweser yang datang dari berbagai wilayah di Jawa Barat, Jakarta, Surabaya, Bali, Makassar, Medan, bahkan Selandia Baru.

Dalam penyelenggaraan kali ini, lintasan yang dilalui sepanjang 12,5 kilometer dari Wates Cikole dan berakhir di Desa Cibeusi, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Lintasan yang dimulai dari dekat tugu perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang ini adalah lintasan yang baru dibangun. Berada di lahan milik PT. Perhutani, lintasan ini menyajikan tantangan tersendiri dengan permukaan tanah yang belum banyak tergerus roda kendaraan, lumpur yang bisa menutupi ban sepeda, serta tumpukan seresah yang membuat lintasan menjadi licin.

Selain dengan kondisi lintasan, tantangan juga hadir dari kondisi kontur lintasan yang dilalui. Tanjakan dan turunan bergantian menunggu untuk ditaklukkan peserta. Walaupun begitu, lintasan ini didominasi turunan karena titik finish di Cibeusi dengan elevasi 800 meter di atas permukaan laut (mdpl) lebih rendah dari titik start di Wates di ketinggian 1.500 mdpl. Turunan curam hingga 40,9% dan licinnya lintasan mensyaratkan kemampuan pengendalian dan sepeda yang prima. Sedikit kesalahan dari peserta, jurang yang menganga di beberapa tempat dapat mengambil korban.

Dilepas secara berkelompok, sekitar 500 orang peserta melalui lintasan yang ditentukan. Tidak ada batas waktu bagi peserta untuk menempuh lintasan tersebut. Selain untuk menikmati alam, resiko peserta juga akan meningkat saat kurang berhati-hati di lintasan yang sulit ini.

Dalam perjalanan, selain lintasan itu sendiri, ada beberapa titik yang menarik dilewati peserta. Warung dengan pengrajin lahang, minuman yang dibuat dari nira membuat peserta menghentikan sejenak sepedanya untuk menikmati lahang dan sedikit mengisi perut. Titik yang menarik lainnya adalah air terjun Cisarua yang juga banyak menarik peserta untuk mengambil foto.

Setelah acara ini, lintasan dapat dipergunakan untuk umum. Sedikit biaya dipungut kepada pengguna untuk kas pemeliharaan lintasan. Sayangnya ada satu hal yang menyulitkan saat melintasi lintasan ini. Lintasan yang masuk ke dalam hutan menyulitkan evakuasi saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Dengan makin meningkatnya kemampuan sepeda, teknik pengendalian sepeda pun perlu diasah di lintasan yang benar-benar dapat mengeluarkan potensi kemampuan sepeda gunung ini. Saat pesepeda gunung terintimidasi oleh suasana kompetitif di ajang kompetisi, namun kurang tertantang oleh acara sepeda santai biasa. Adventure ride seperti C2AM Challenge ini cocok untuk meningkatkan kemampuan bersepeda, dan mengeluarkan potensi sepeda gunung yang dimiliki.


(Goestarmono/Dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 22 Juni 2014)

Tuesday, July 1, 2014

Seri 4 World Cup Downhill, Leogang, Austria

Setelah gagal pada seri yang diselenggarakan di negaranya, pebalap Inggris kembali merajai seri World Cup Downhill ke 4 yang diselenggarakan di Leogang, Austria. Namun bukan kakak beradik Atherton yang menjuarai event tersebut. Adalah Manon Carpenter (Madison Saracen) dan Josh Bryceland (Santa Cruz Syndicate) yang berhasil mempersembahkan puncak podium bagi Inggris.



Juara seri 4 World Cup Downhill, Manon Carpenter (foto: Fraser Britton)
Di bagian putri Manon Carpenter mendominasi seluruh seri lomba. Setelah berhasil mencatat waktu tercepat di babak kualifikasi, ia juga memenangkan babak final dengan waktu 3 menit 42,517 detik dan kecepatan tertinggi di speed trap dengan 46,129 kilometer per jam. Ia mengalahkan rekan senegaranya Rachel Atherton (GT Factory Racing) yang tertinggal 2,699 detik. Sementara itu pebalap Perancis, Myriam Nicole (Commençal/Riding Addiction) menduduki podium ketiga, tertinggal 4,028 detik. Dengan kemenangan ini Manon semakin kokoh berada di puncak klasemen World Cup di atas Emmeline Ragot (Perancis/Lapierre) yang pada lomba ini berada di posisi ke empat. Melengkapi podium adalah rekan senegara Manon dan Rachel, Tahnee Seagrave (FMD Racing).

Juara seri 4 Downhill World Cup, Josh Bryceland (foto: Bartek Wolinski)
Di bagian putra Josh Bryceland berhasil menyelesaikan lintasan sepanjang 2,49 kilometer dalam waktu 3 menit 18,749 detik. Ia berhasil finish lebih cepat 1,275 detik dari rekan setimnya, Greg Minaar (Afrika Selatan). Di tempat ketiga adalah pemenang seri Fort Williams, Troy Brosnan (Australia/Specialized Racing DH) dengan waktu 3:20,033.

Aaron Gwin menyelesaikan lomba tanpa ban belakang (foto: Flow Mountain Bike)
Pada babak kualifikasi, Josh Bryceland menempati posisi ketiga di bawah Loic Bruni (Perancis/Lapierre Gravity Republic) dan Aaron Gwin (Amerika Serikat/Specialized Racing DH). Saat Josh menyelesaikan lombanya, Loic dan Aaron masih bisa mengalahkan catatan waktu Josh. Gwin memperoleh kesempatan pertama, namun kempesnya ban Aaron saat awal lomba menggagalkan niatnya menjuarai seri ini. Namun mengingat posisinya yang sedang memuncaki klasemen membuatnya tetap melanjutkan lomba tanpa ban belakang dan finish dengan waktu 3:58,066 dan mendapat poin 3. Selanjutnya kesempatan beralih pada pencetak waktu tercepat pada kualifikasi, Loic Bruni. Kiprah Loic Bruni di babak final sempat membuat khawatir Josh Bryceland. Loic Bruni terbukti memang cepat, dengan mencetak waktu tercepat pada split 1 dan 2, waktu yang dicatat pada split tersebut berkisar 0,7 dan 0,5 detik lebih cepat dari waktu Josh Bryceland. Sayangnya kesalahan di bagian akhir membuatnya gagal mencetak waktu terbaik dan finish lebih lambat 6,554 detik dari Josh.

Setelah seri Leogang ini di bulan Agustus seri World Cup akan berlangsung di benua Amerika. Tanggal 2-3 Agustus seri World Cup akan diadakan di Mt. St. Anne, Kanada dan minggu depannya di Windham, Amerika Serikat, sebelum kembali ke Eropa untuk seri penutup di Meribel, Perancis, 23-24 Agustus.


(Gustar Mono)

Thursday, June 12, 2014

Seri World Cup Downhill Sepeda Gunung Fort William, Inggris


Pebalap tuan rumah gagal memuncaki podium di seri ketiga World Cup sepeda gunung downhill yang diselenggarakan di Fort Williams, pegunungan Ben Nevis, Inggris. Setelah beberapa kali merajai podium World Cup di seri sebelumnya, kali ini pebalap Inggris harus mengakui pebalap Australia dan Prancis pada nomor downhill putra dan putri pada kejuaraan yang diselenggarakan tanggal 5-8 Juni 2014 lalu.

Emmeline Ragot, pemenang seri World Cup DH #3 Fort William
Di bagian putri, Emmeline Ragot (Prancis/Lapierre Gravity Republic) menjuarai nomor putri dengan membukukan waktu 5 menit 12,624 detik. Ia mengalahkan rekan senegaranya Myriam Nicole (Commençal - Riding Addiction) yang terpaut 8,710 detik. Podium ketiga ditempati Tracey Hannah (Australia/Polygon Hutchinson UR) dengan waktu 5:26,600.

Troy Brosnan, pemenang seri World Cup DH #3 Fort William
Di bagian putra, sama halnya dengan di bagian putri, dua rekan senegara menguasai podium teratas. Pebalap Australia Troy Brosnan (Specialized Racing DH) dan Samuel Hill (ChainReactionCycles.com / Nukeproof) memuncaki podium dengan waktu 4:36,580 dan 4:38,239. Di tempat ketiga, pebalap tuan rumah Danny Hart mencatat waktu lebih lambat 2,076 detik dari Troy Brosnan.

Sebenarnya pebalap tuan rumah cukup memberi perlawanan dalam lomba ini. Di nomor putri, pebalap tuan rumah Manon Carpenter (Madison Saracen Factory Team) mencatat waktu kualifikasi tercepat. Selain tercepat di kualifikasi, Manon juga masih meraih waktu tercepat pada Split 1 babak final. Kesalahan yang dibuat di bagian 2 lintasan sepanjang 2,82 kilometer ini membuatnya tertinggal lebih dari satu menit dari Emmeline Ragot. Podium putri terbaik tuan rumah diraih pebalap senior Fionn Griffiths yang meraih posisi ke enam.

Di bagian putra, pebalap tuan rumah Danny Hart juga mencatat waktu tercepat di bagian awal lomba. Berbeda dengan putri, di bagian putra, keunggulan sekitar 0,7 detik tidak mampu dipertahankan Danny hingga akhirnya kalah 2,076 detik dari Troy Brosnan walaupun tidak terjadi kesalahan yang dilakukan pebalap tuan rumah tersebut.

Lintasan Fort William ini adalah lintasan klasik yang selalu digunakan untuk seri World Cup sejak tahun 2002. Untuk tahun 2014 ini, lintasan yang digunakan sepanjang 2,82 kilometer dengan titik finish lebih rendah 555 meter dari garis start. Kombinasi lintasan yang sulit serta bagian berkecepatan tinggi membuat pebalap harus mengatur ritme lomba. Lomba di tahun ini berlangsung dalam cuaca mendung dan berawan dan suhu berkisar 16 hingga 20 derajat celcius.

Bagian lintasan yang cepat dapat membuat pebalap menjalankan sepedanya di atas kecepatan 80 kilometer per jam. Namun bagian yang cukup sulit membuat pebalap unggulan tidak terpancing untuk mengejar kecepatan tinggi. Di tahun 2014 ini kecepatan tertinggi di speed trap diraih pebalap non unggulan Mikael Vickers (Inggris / Santa Cruz Syndicate) dengan kecepatan 86,086 kilometer per jam di bagian putra dan pebalap Mexico Lorena Drumondo Vargas di bagian putri dengan kecepatan 82,133 kilometer per jam. Kecepatan yang dibuat belum dapat membantu mereka mencatat waktu yang cukup baik untuk lolos ke babak kualifikasi.


(Goestarmono)

Monday, June 2, 2014

Terbalik Lebih Asyik?

Rockshox RS-1 (SRAM.com)
Beberapa waktu lalu, pionir sepeda gunung, Rockshox melansir produk barunya dengan cara unik. Sekali sehari mereka mencicil “penampakan” produk barunya. Dalam tiga hari di halaman jejaring sosialnya ditampilkan tiga detail produk tersebut. Di hari ke empat sebuah gambar utuh dari produk dirilis oleh Rockshox. Garpu suspensi itu dinamakan RS-1, sama seperti nama produk pertama Rockshox. Berbeda dengan RS-1 yang asli, garpu RS-1 yang dikeluarkan tahun 2014 ini berdesain terbalik, alias inverted, atau lebih dikenal dengan upside down.

Desain garpu inverted sudah banyak digunakan di sepeda motor, terutama untuk keperluan kompetisi. Jika suspensi konvensional menggunakan slider dengan tabung lebih besar di bagian bawah dan tabung stanchion yang lebih kecil dijepit oleh crown di bagian atas. Suspensi inverted, seperti namanya tersusun secara terbalik, di bagian atas crown menjepit slider, sementara stanchionnya berada di bagian bawah, menjepit as roda. Keuntungan dari desain ini adalah berkurangnya unsprung mass sehingga peredaman guncangan lebih efektif. Selain itu, desain internal dengan sil yang selalu terendam oli membuat gaya gesek di stanchion berkurang.

Garpu inverted sebenarnya sudah banyak digunakan di sepeda. Dari sekian banyak garpu inverted, mungkin hanya Manitou Dorado yang sukses bertahan dalam arti tetap diproduksi dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sekarang pertanyaannya adalah, apa kelemahan garpu inverted sehingga sangat jarang garpu sepeda yang sukses dengan desain ini?

Garpu dengan desain ini mengalami kelemahan yaitu kemampuan menahan torsi stir yang rendah. Walaupun produsen dapat membuat garpu yang cukup kaku dari arah depan dan belakang, namun hilangnya brake arch membuat garpu fleksibel dari torsi yang dihasilkan stang atau defleksi kiri-kanan akibat lintasan yang dilalui. Dengan adanya brake arch, torsi ditahan di bagian crown, brake arch, dan as roda. Pada garpu inverted hanya dua bagian yang memegang peranan, yaitu crown dan as roda.

Sedikit pencerahan datang dari perusahaan yang dibuat Paul Turner, Maverick. Garpu yang digunakan Maverick cukup berhasil dengan desain inverted walau digunakan untuk keperluan cross country. Benang merah dari keberhasilan garpu inverted adalah rekayasa di titik pegangan untuk mengkompensasi hilangnya brake arch. Untuk mengkompensasi absennya brake arch, Maverick mengelas crown bagian bawah dan meningkatkan ukuran as roda menjadi 24 milimeter. Produsen lainnya, Manitou menggunakan as segi enam untuk garpu Dorado-nya. Bagaimana dengan Rockshox?

Predictive Steering (foto dari MTB Magazine)
Untuk meningkatkan torsional rigidity, Rockshox RS-1 menggunakan rangkaian unik dari as, garpu, dan sistem kompresi yang dinamakan Predictive Steering™. Sistem ini menggunakan hub khusus dan torque tube sehingga antarmuka hub dan dropout seakan menggunakan as berukuran 27 milimeter walaupun menggunakan as Maxle™ berukuran 15 milimeter.

Akankah Rockshox sebagai salah satu pemain utama suspensi sepeda sukses melakukan salah satu tantangan paling berat di dunia suspensi sepeda, membuat suspensi inverted untuk pengguna cross country dengan keharusan bobot yang ringan?


(Goestarmono, dimuat di majalah Ridebike Juni 2014)

Monday, May 26, 2014

Fat Bike


Cerita tentang sepeda seakan tak ada habisnya. Di balik beragam jenis sepeda selalu tersimpan cerita tentang evolusi dan penciptaannya. Demikian pula dengan fat bike. Sepeda jenis ini terlihat dengan jelas dari ukuran bannya. Rasanya Charlie Kelly harus mencari judul baru dari newsletter tentang sepeda gunungnya, Fat Tyre Flyer, seandainya ia mengetahui adanya genre sepeda fat bike di masa kini. 

Ya, sepeda gunung dengan ban berukuran sekitar 2 inci menjadi “kurus“ dibandingkan dengan ban fat bike yang berukuran 3,75 sampai 4,8 inci ini. Sejarah fat bike dimulai dari dua tempat terpisah di Amerika Serikat. Di tempat yang dingin di Fairbanks, Alaska dan gurun pasir New Mexico yang panas dapat kita telusuri akar dari evolusi sepeda gendut ini.
Adalah Simon Rakower, pemilik All-Weather Sports di Fairbanks, Alaska yang menjadi salah satu pemain utama dari sejarah fat bike. Di tahun 1987, ia bekerja sebagai pendukung teknis di acara Iditasports (yang saat ini menjadi Iditabike), sebuah balapan antara Anchorage ke Nome di Alaska. Balapan yang dapat berjalan hingga 30 hari ini menembus dinginnya benua Arktik dengan medan bersalju dan es. 

Untuk menembus medan tersebut dibutuhkan ban sepeda yang cukup besar sehingga Simon mengelas dua buah pelk sepeda dan memotong bagian tengahnya untuk menciptakan pelk sepeda berukuran 44 milimeter. Setelah antusiasme meningkat, Simon memproduksi pelk dengan lebar 44 milimeter dari awal, ukuran 44 milimeter ini adalah ukuran maksimal yang masih bisa digunakan di sepeda biasa. 

Di bagian lain Amerika Serikat, Ray Molina menggunakan rangka sepeda, ban berukuran 3,5 inci dan pelk 80 milimeter yang dibuat khusus untuk menjalankan jasa wisata bersepeda di padang pasirnya.
Untuk beberapa tahun lamanya calon pengguna fat bike harus memodifikasi sepedanya atau membeli suku cadang sepeda yang dibuat khusus dengan harga yang cukup mahal. Ini berubah di tahun 2005, saat dua bersaudara Evingson, John dan Matt berhasil meyakinkan distributor sepeda terbesar di Amerika Serikat, QBP, untuk memproduksi suku cadang sepeda fat bike

John sebelumnya adalah pengrajin fat bike dari Alaska, sementara Matt bekerja untuk QBP di Minnesota. Mereka berhasil meyakinkan QBP untuk mengisi ceruk pasar fat bike yang belum tergarap. Di tahun tersebut Matt Evingson menjuarai Arrowhead 135, balapan ultra marathon di Minnesota menempuh jarak 135 mil (216 kilometer) menggunakan sepeda dan suku cadang fat bike dari merk Surly, salah satu merk yang dimiliki QBP.
Dua cerita tentang sejarah fat bike ini mengungkap keunggulan fat bike. Ban fat bike yang berukuran besar membuat sepeda tetap mengambang saat menempuh lintasan yang lembut seperti salju, pasir, pantai, lumpur, hingga rawa. Bagaimana dengan di Indonesia? Walaupun Indonesia beriklim tropis dan tidak memiliki wilayah gurun pasir, namun ternyata antusiasme pesepeda akan sepeda jenis ini cukup tinggi. Sebuah pabrikan lokal bahkan telah merilis sepeda jenis ini.
Fat bike memang menyajikan sensasi bebeda saat mengendarainya. Dengan tekanan ban yang hanya 20 psi, bahkan bisa diturunkan hingga 5 psi memungkinkan fat bike menghilangkan getaran dari jalanan seperti kerikil dan akar. Selain kenyamanan, kontak dengan tanah yang besar membuat fat bike mempunyai traksi yang besar pula sehingga tidak bermasalah untuk bersepeda di pasir, lumpur, bahkan di permukaan keras, licin, dan berlumut akibat jarang dilalui.
Aplikasi lain yang akan menjadi kelebihan fat bike adalah kerenggangan antara ban dan rangka yang cukup besar. Di beberapa tempat di Indonesia terdapat lintasan yang terdiri dari lempung dan mudah menempel di sepeda. Lempung dapat membuat macet sepeda akibat tanah yang terjepit antara ban dan rangka. Untuk menaklukkan lintasan itu, bisa saja pesepeda menggunakan fat bike dengan roda sepeda gunung biasa untuk mengatasi masalah lempung yang menempel tersebut.
(Goestarmono, dimuat sebagai Cyclepedia, Back2boseh Pikiran Rakyat, 18 Mei 2014)
Balap Fat Bike (diambil dari Camping with Suzi)