Friday, May 27, 2016

Paris Roubaix “Neraka di Utara”

Sean Kelly, pemenang Paris-Roubaix 1984 (foto: Aaron Cripps)
Buruknya infrastruktur jalan di suatu daerah umumnya menjadi aib bagi warga atau pemerintah daerah tersebut. Tapi bagaimana jika sejarah dan ajang olahraga bisa membalikkan aib tersebut menjadi legenda dalam ajang lomba sepeda. Paris-Roubaix, sebuah lomba yang berlangsung tiap musim semi mendapat julukan “Neraka di Utara”, dan menjadi lomba yang ditunggu penggemar sepeda.

Paris-Roubaix kembali diadakan tanggal 10 April ini. 120 tahun yang lalu, Theodore Vienne dan Maurice Perez, pengusaha tekstil dari Roubaix, sekarang pinggir kota Lille, Perancis ingin mempromosikan Velodrome yang mereka bangun serta mempromosikan Roubaix sebagai tujuan wisata dan membangkitkan ekonomi kota. Kedua orang ini menghubungi Paul Rousseau, direktur koran Le Velo, yang juga menyelenggarakan lomba Bordeaux-Paris yang terkenal saat itu.

Salah satu sektor jalan berbatu di Paris-Roubaix (foto: Road Cycling UK)
Sebenarnya balapan ini hampir tidak terlaksana seandainya Vienne dan Perez gagal memberi akomodasi yang baik untuk Victor Breyer. Breyer, yang diutus Rousseau untuk mensurvei lintasan lomba sebenarnya sudah memutuskan untuk membatalkan lomba ini karena beratnya medan lomba. Ia tiba di Roubaix dalam keadaan lelah yang teramat sangat dengan badan yang dikotori lumpur. Jamuan dari tuan rumah di Roubaix lah yang membuatnya berubah pikiran. Walaupun saat ini rute Paris-Roubaix dikenal dengan kondisi lintasannya yang buruk, sebenarnya pada tahun-tahun awal lomba hal itu dinilai wajar. Kondisi permukaan jalan berbatu (cobblestone) memang menjadi permukaan jalan terbaik yang digunakan di seluruh dunia, bahkan untuk jalan utama di negara maju sekalipun.

John Degenkolb, juara Paris-Roubaix 2015 (foto: Roberto Bettini)
Julukan “Neraka di Utara” mulai disematkan kepada Paris-Roubaix setelah Perang Dunia I. Tahun 1919, selepas Perang Dunia I, panitia ingin menghidupkan kembali Paris-Roubaix. Dengan kondisi telekomunikasi yang hancur, panitia dari Paris bahkan tidak tahu jika kota Roubaix masih ada atau hancur total akibat perang. Tim survei yang diberangkatkan untuk merintis lomba menemukan kondisi jalur lomba hancur akibat perang. Pohon yang terbakar, bau bangkai ternak yang membusuk, serta lubang bekas pengeboman dan mortir menjadi pemandangan yang semakin mewarnai perjalanan mereka semakin mendekati Roubaix. Walau begitu, lomba di tahun 1919 ini tetap dilaksanakan dengan keadaan lintasan pasca perang yang sangat buruk.

Tabrakan di Paris-Roubaix 2014 (foto: Road Cycling UK)
Setelah Perang Dunia II, teknologi pembuatan jalan semakin baik dan aspal mulus mulai menggantikan jalan berbatu. Walau begitu, Paris Roubaix tetap mempertahankan ciri khasnya melalui jalanan berbatu hingga di tahun 1960-an pemerintah daerah yang dilalui Paris-Roubaix mulai mengaspal rute lomba. Albert Bouvet, ketua panitia lomba saat itu tidak menyukainya. Baginya lomba yang berlangsung di aspal mulus berlangsung monoton dengan hasil yang ditentukan oleh sprint massal. Di sisi lain, pemerintah daerah yang dilalui merasa malu karena lomba ini seakan memamerkan buruknya infrastruktur jalan. 

John Degenkolb, juara Paris-Roubaix 2015 dengan piala batu jalanan (foto: Cycling Weekly)
Bouvet akhirnya mendirikan Les Amis de Paris-Roubaix (teman Paris-Roubaix) yang bertujuan mencari dan merawat jalanan berbatu yang tersisa. Memang jalan berbatulah yang membuat Paris-Roubaix mendapat tempat khusus di hati penggemar balap sepeda. Tugas Teman Paris-Roubaix pun bertambah karena banyak penggemar lomba ini yang mencongkel batuan jalan (sette) untuk dijadikan cendera mata.

Buruknya lintasan lomba pun membuat sepeda yang digunakan di lomba ini menarik untuk diamati. Hanya di lomba inilah, pembalap sepeda jalan raya menggunakan sepeda yang dirancang untuk kenyamanan dan peredaman guncangan. Salah satu dari komponen yang dibuat khusus untuk Paris-Roubaix yang terkenal adalah penggunaan suspensi depan Rockshox oleh Greg Lemond tahun 1991. Bianchi dan Clark-Kent mengeluarkan sepeda bersuspensi ganda di tahun 1994. Kegagalan sepeda suspensi ganda di lomba tahun 1994 ini mengakhiri penggunaan suspensi aktif di Paris-Roubaix dan lomba balap sepeda profesional. Tahun 2005, pabrikan sepeda Trek membuat purwarupa sepeda dengan suspensi belakang yang digunakan oleh Viatcheslov Ekimov. Saat ini sepeda yang digunakan di lomba ini dengan suspensi aktif adalah Pinarello Dogma KS-8 yang digunakan tim Sky. Umumnya pabrikan sepeda menggunakan suspensi pasif berupa material serat karbon yang didesain fleksibel.

Di antara kemudahan dan kemajuan infrastruktur jalan, Paris-Roubaix mendapat tempat di kalangan penggemar sepeda. Sebagai lomba yang monumental, ia juga menjadi pengingat bahwa Perancis Utara sempat hancur akibat perang. Selain itu, ia juga menjadi saksi bisu bagaimana jalanan di masa abad 19 dibuat.


(Goestarmono)

Friday, May 20, 2016

Strade Bianche

Saat ini belahan bumi utara memasuki musim semi. Musim yang berganti berarti dimulainya musim lomba balap sepeda jalan raya setelah sebelumnya para pebalap banyak yang beralih ke lomba Cyclocross. Di musim yang mulai menghangat ini musim lomba balap sepeda jalan raya 2016 dimulai dengan rangkaian lomba Spring Classic dengan Strade Bianche sebagai pembuka pada tanggal 5 Maret ini.

Tidak banyak event balap sepeda yang menjadi terkenal dan jadwal yang dikejar pebalap papan atas. Kebanyakan balapan tersebut adalah balapan dengan sejarah penyelenggaraan dengan penyelenggaraan di atas 40 tahun, tidak demikian halnya dengan Strade Bianche. Event dengan nama lengkap Strade Bianche Eroica Pro baru memulai penyelenggaraan pertamanya tahun 2007. Apa menariknya lomba yang diselenggarakan di provinsi Siena, Italia ini hingga dalam waktu singkat berhasil meraih predikat 1.HC, satu tingkat di bawah World Tour yang merupakan puncak dari seri lomba dunia?

Lomba Strade Bianche (foto oleh Tim De Waele)
Ada beberapa kunci dari sukses Strade Bianche. Salah satu kunci sukses itu adalah rute yang dilalui. Balapan ini tidak hanya melulu menggunakan jalan aspal yang mulus sebagai jalur perlombaan. Nama Strade Bianche yang berarti jalan putih mengacu pada beberapa bagian jalan berkerikil putih khas daerah Tuscany dengan total panjang 52 kilometer dari 176 kilometer total panjang lomba.

Strade Bianche dimulai dan berakhir di kota Siena, sebuah kota yang mendapat predikat Unesco World Heritage Site. Keunikan lomba ini adalah lokasi finish di Piazza del Campo, tempat diselenggarakannya balap kuda tanpa pelana, Palio di Siena yang termasyhur. Sebelum mencapai garis finish, penonton lomba diberi tontonan aksi para pebalap menanjak di jalan sempit dengan kemiringan hingga 16 persen.


Rute yang indah dan unik ini mulai digunakan sejak 1997 sebagai lomba rekreasi Granfondo. Tahhun 2007, RCS Sport, penyelenggara Giro d’Italia sebagai panitia lomba mulai menyelenggarakan balap sepeda profesional dengan nama Monte Paschi Eroica, dari nama bank Monte Paschi de Siena yang menjadi sponsor lomba.

Lomba perdana yang diselenggarakan bulan Oktober ini dipindahkan ke bulan Maret pada edisi berikutnya sehingga menjadi event pembuka musim lomba. Jadwal baru ini lebih awal dari lomba klasik lainnya, Milan-San Remo yang diselenggarakan akhir Maret. Penjadwalan ini menjadi kunci kedua yang menyebabkan para pembalap papan atas dunia menunggu untuk berpartisipasi di lomba ini.

Dalam waktu singkat, tidak sampai satu dekade, lomba ini berhasil meraih predikat 1.HC, predikat yang sangat sulit diraih bahkan oleh lomba yang telah berjalan puluhan tahun. Daftar pemenang Strade Bianchi yang masih pendek pun didominasi oleh pebalap papan atas dunia. Fabian Cancellara yang tahun ini memperkuat tim Trek-Segafredo adalah satu-satunya pebalap yang pernah memenangi lomba ini lebih dari sekali. Nama lain yang menghiasi daftar yang pendek itu adalah juara dunia jalan raya 2014 Michal Kwiatkowski dari Polandia yang memenangi lomba ini di tahun 2014 serta juara Cyclocross 2014 Zdenek Stybar (Republik Cek) yang memenangi Strade Bianche tahun lalu.

Kunci terakhir dari kesuksesan Strade Bianche adalah kepercayaan diri penyelenggaranya. Sejarah lomba yang belum panjang dan kemiripan dengan lomba lain yang terkenal biasanya membuat panitia mengasosiasikannya dengan lomba lain yang lebih terkenal. Melakukan promosi Strade Bianche sebagai Paris Roubaix-nya Italia misalnya, menunjukkan lomba klasik baru ini inferior terhadap lomba yang diasosiasikan. Dengan tidak membandingkannya dengan lomba lain menunjukkan Strade Bianche bisa bersaing atau bahkan mengalahkan popularitas lomba lain yang lebih mapan.


(Goestarmono)