Friday, September 18, 2015

Touring Cepat Gaya Josh Ibbett

Berbeda dengan lomba sepeda yang lain, Transcontinental Bike Race mengharuskan peserta untuk membalap tanpa dukungan dari pihak luar sama sekali. Semua perlengkapan yang digunakan harus dibawa peserta atau dibeli di sepanjang perjalanan. Aturan lomba seperti ini membuat pesepeda lain dapat meniru peralatan yang digunakan peserta untuk kegiatan bersepedanya.

Tahun ini juara bertahan dua kali Kristof Allegeart tidak turut serta, runner up tahun lalu Josh Ibbett, yang juga brand manager Hunt Wheels menjuarai event balapan melintasi benua Eropa. Ia menempuh jarak 4.239 kilometer dalam 9 hari 23 jam dan 54 menit.

Dalam menempuh jarak lomba tersebut, Josh membawa perlengkapannya sendiri tanpa mobil pendukung. Bagaimana Josh melakukan perjalanan yang cukup panjang itu secara mandiri namun tetap mempertahankan kecepatan yang cukup tinggi? Bagaimana Josh membangun sepedanya secara efisien setelah tahun lalu ia mempelajari beberapa hal yang bisa diperbaikinya hingga memenangi lomba ini?

Sepeda yang digunakan Josh dibangun dari rangka sepeda Mason Definition keluaran Mason Cycle. Mason Cycle memang baru berumur setahun, setelah sebelumnya Dominique Mason bekerja sebagai brand manager pabrikan sepeda lain. Terbuat dari Aluminum dan garpu serat karbon, rangka sepeda ini hanya bisa menggunakan rem cakram. Tahun lalu Josh menggunakan rem kaliper namun cuaca buruk membuat Josh sering mengganti kampas rem, serta kabel yang macet membuat tangannya lelah. Penggunaan rem cakram juga membuat ia dapat menggunakan ban tubeless Schwalbe One berukuran 28 milimeter. Ban tubeless berukuran relatif besar diperlukan mengingat Josh harus melintasi jalan berkerikil di Strada dell’Assietta serta jalan yang masih buruk di Albania dan Bulgaria.

Kelelahan juga membuat Josh memilih menggunakan transmisi elektronik Shimano Ultegra Di2. Tahun lalu ia menggunakan transmisi mekanik, namun putusnya kabel shifter membuatnya tidak dapat memindahkan rasio giginya dari Albania hingga Turki. Rasio gigi yang digunakan adalah gir 52/36 dan cassette 12-25, yang cukup berat bagi pesepeda umum, namun diperlukan agar kecepatan Josh tidak turun drastis saat menjumpai tanjakan.

Komponen lain yang digunakan adalah komponen orisinil sepeda Mason yang terbuat dari Aluminum, kecuali seatpost yang terbuat dari serat karbon. Josh memilih menggunakan Aluminum, karena jalan yang dilalui tidak semuanya baik, serta kelelahan dalam melintasi benua Eropa membuatnya banyak menjatuhkan sepeda ke lantai yang akan menyebabkan gesekan dan mengurangi kekuatan komponen serat karbon. Penggunaan serat karbon pada seatpost mengurangi getaran jalan lebih baik.

Saat berlomba dalam jarak ribuan kilometer, kenyamanan adalah prioritas utama. Josh membangun sepedanya dengan memasang sadel dan stang khusus time trial untuk mendapatkan posisi bersepeda time trial. Walaupun ada beberapa tanjakan yang berat, termasuk Gunung Ventoux, mayoritas perjalanan menembus benua Eropa adalah melintasi jalanan datar dan sering melawan arah angin.
Kebutuhan daya listrik untuk penggunaan alat navigasi dan lampu untuk perjalanan malam juga harus diatur dengan baik. Jika tahun lalu ia menggunakan hub dinamo, tahun ini menggunakan hub biasa. Gawai yang paling menyedot listrik adalah peralatan navigasi GPS, tahun ini ia menggunakan alat navigasi yang menggunakan baterai AA. Untuk perjalanan malam ia menggunakan lampu Exposure Toro, digunakan dalam daya paling rendah membuatnya bisa bertahan 9 malam. Pengisian ulang daya listrik dilakukan saat Josh beristirahat makan dan tidur, memanfaatkan pasokan listrik di cafe yang ia datangi.

Josh tidak membawa banyak peralatan akomodasi. Bagaimanapun Transcontinental adalah sebuah balapan, sehingga ia hanya membawa sikat dan pasta gigi dalam perjalanan ini. Ia hanya membawa sleeping bag untuk tidur, dengan anggapan jika ia berusaha cukup keras dan cukup lelah, maka ia tidak akan menemui kesulitan untuk tidur di manapun.

Untuk peralatan perbaikan sepeda ia membawa peralatan standar seperti mini pump, multi tool, dan penambal ban, termasuk juga charger untuk gawai dan transmisi elektronik.

Semua peralatan itu ia bawa dalam tas rangka sepeda. Badan Josh yang tinggi membuatnya dapat menggunakan tas rangka berukuran besar di rangka sepedanya. Besarnya tas keluaran Miss Grape dari Italia ini membuat semua bawaannya bisa masuk ke dalam tas rangka ini.

Pengaturan seperti yang dilakukan Josh Ibbett dalam mengikuti Transcontinental Bike Race ini mungkin cocok sebagai alternatif kegiatan turing sepeda. Dengan sepeda yang lebih ringan dan lebih nyaman, setidaknya bisa menyingkat perjalanan turing sepeda atau memperjauh penjelajahan bersepeda.

(Goestarmono)

Friday, September 11, 2015

Transcontinental Bike Race

Apa jadinya jika kegiatan turing sepeda disandingkan dengan kegiatan kompetisi? Boleh disebut event tersebut menjadi kompetisi balap sepeda ultra marathon.

Tahapan yang membagi balap sepeda jenis Tour membuat para pembalap bisa beristirahat bersama-sama setelah lomba selesai di masing-masing harinya. Dalam lomba ultra marathon perhitungan waktu tidak berhenti sejak lomba dimulai hingga peserta mencapai garis finish. Balap ultra marathon pun tidak menutup jalan sehingga lebih mirip dengan keadaan yang dihadapi pesepeda sehari-hari.

Salah satu event ultra marathon yang terkenal adalah RAAM (Race across America), yang telah berlangsung melintasi benua Amerika sejak tahun 1982. Namun esensi bersepeda mandiri agak berkurang karena peserta RAAM diharuskan menggunakan mobil pendukung (support car) yang mengikuti mereka untuk menyediakan fasilitas logistik dan akomodasi pesepeda.

Semangat petualangan yang kurang terakomodasi itulah yang membuat Mike Hall menyelenggarakan balapan menyeberangi benuanya sendiri. Setelah ia memecahkan rekor keliling dunia dalam waktu 91 hari di tahun 2012, ia menyelenggarakan Transcontinental Bike Race, balap sepeda melintasi benua Eropa di tahun berikutnya. Untuk tahun 2015, Transcontinental Bike Race terselenggara untuk ketiga kalinya.

Berbeda dengan RAAM, Transcontinental Bike Race tidak mempunyai rute baku, hanya ada check point yang harus dilewati peserta. Untuk tahun 2015, setelah start yang dilakukan di Muur van Geraardbergen, Belgia tanggal 24 Juli, peserta diberi waktu 15 hari untuk melewati Gunung Ventoux (Perancis), Strada dell’Assietta (perbatasan Italia-Perancis), Vukovar (Kroasia), dan Gunung Lovcen (Montenegro) sebelum finish di Bosphorus, Turki.

Perbedaan lain dari RAAM adalah tidak diperbolehkannya penggunaan mobil pendukung, seluruh peserta hanya boleh menggunakan apa yang dibawa dan yang bisa dibeli di perjalanan. Mike Hall menginginkan Transcontinental Bike Race dimenangkan oleh peserta yang siap bertualang, dengan perjalanan yang bisa dilakukan oleh pesepeda pada umumnya. Event ini juga jadi ujian ketahanan peralatan sepeda selain atletnya.

Atas dasar itu Mike Hall menempatkan checkpoint di Strada dell’Assietta yang mengharuskan pembalap melalui jalan berkerikil sepanjang 40 kilometer. Ia juga mengalihkan pembalap dari jalur pantai Kroasia menuju jalanan terpencil di Balkan dengan menempatkan checkpoint 3 di Vukovar, Kroasia. Mike Hall tidak membatasi jenis sepeda yang digunakan, namun pemilihan checkpoint yang ia buat akhirnya mempengaruhi sepeda yang digunakan peserta. Sepeda ultra ringan yang biasa digunakan pembalap jenis tour ditinggalkan peserta untuk sepeda yang lebih kuat dan bisa membawa barang bawaan.

Untuk tahun ini, juara bertahan dua kali Kristof Allegeart tidak turut serta. Kemenangan diraih runner up tahun lalu Josh Ibbett dengan menempuh jarak 4.239 kilometer dalam 9 hari 23 jam dan 54 menit. Kompetisi yang didominasi oleh Kristof ini membuat Mike Hall berencana membuat pelatihan turing, terutama dari aspek keteraturan dan efisiensi waktu bagi calon peserta Transcontinental selanjutnya. Keteraturan dan efisiensi waktu memang dianggap menjadi kunci kemenangan Kristof Allegeart dalam memenangi Transcontinental Bike Race.


(Goestarmono)

Friday, September 4, 2015

Perjalanan 150 Kilometer dalam Sehari

Perjalanan jarak jauh menjadi salah satu kegiatan yang banyak dilakukan pesepeda saat ini. Bulan Agustus ini salah satu media sosial melakukan tantangan bersepeda sejauh 150 kilometer. Tantangan itu, dan kepenasaranan atas tanjakan Monteng di kawasan Gunung Guntur yang memiliki kemiringan rata-rata 13% membuat saya mencoba bersepeda menuju Garut via Monteng di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut.

Berangkat dari rumah pukul 9:00 WIB di Buahbatu, perjalanan diarahkan menuju Cicalengka melalui Jalan Raya Timur Cicalengka. Seperti biasa kemacetan mewarnai perjalanan di Jalan Soekarno-Hatta. Sengaja saya melalui jalur lambat yang memang seharusnya dilintasi pesepeda. Selain menjaga ketertiban lalu lintas, saya juga tidak ingin terintimidasi oleh kecepatan tinggi mobil dan kendaraan besar lainnya yang melaju di jalur cepat. Konsekuensi dari pilihan itu memang beberapa kali saya terpaksa menekan tuas rem untuk menghindari sepeda motor yang berjalan lambat.

Kemacetan terasa mengganggu selepas bundaran Cibiru hingga simpang Jatinangor, di sini lalu lintas mobil, sepeda motor dan lainnya berbaur sehingga sangat sulit menjaga kecepatan konstan yang nyaman untuk bersepeda jauh. Jalan yang cukup sepi mulai saya nikmati antara Cicalengka dan Majalaya. Dengan sepeda yang dirakit untuk kegiatan turing, saya bisa mengembangkan kecepatan hingga 25 kilometer per jam. Angin yang berhembus dari depan sejak awal perjalanan tidak begitu mengganggu lagi karena saya bisa memegang stang di bagian bawah untuk mengurangi hambatan angin.

Tiba di Majalaya, waktu menunjukkan pukul 11:45. Terus terang saya masih belum yakin dengan keadaan logistik jalur beberapa kilometer ke depan sehingga saya memutuskan untuk makan siang serta mengisi penuh kedua botol bidon saya di sini.

Tantangan sebenarnya baru dimulai setelah istirahat makan siang tersebut. Jarak yang baru mencapai 50 kilometer membuat saya ragu, apalagi rute yang menanjak menuju Ibun hingga berakhir di PLTP Kamojang mengharuskan saya menanjak setinggi 800 meter. Perbedaan ketinggian kecamatan Majalaya di 700 meter dan Kamojang di 1.500 meter di atas permukaan laut hanya ditempuh dalam jarak kurang dari 10 kilometer.

Beratnya tanjakan, terutama mulai Paseh hingga tanjakan berakhir di Monteng, sebelum pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang yang berkisar 12% lebih membuat kelelahan mengalahkan semangat untuk tetap mengayuh pedal. Teringat akan masih jauhnya perjalanan, saya memutuskan untuk menuntun sepeda, setidaknya 3 kilometer per jam kecepatan menuntun masih bisa mencicil jarak yang harus ditempuh.

Tapi jurus menuntun itu pun ternyata sulit dilakukan di Tanjakan Monteng. Di beberapa tempat, kemiringan yang mencapai 30% membuat saya seakan mendorong sepeda ke atas tembok, umumnya tanjakan seberat ini hanya ada di medan offroad. Setidaknya di medan offroad, sepatu sepeda masih bisa mendapatkan traksi. Di jalan aspal dengan sedikit pasir di atasnya, beberapa kali sepatu kembali merosot ke bawah.

Perjuangan ini akhirnya selesai saat saya menjumpai tanda-tanda instalasi PLTP Kamojang. Terlihatnya plang kawasan pembangkit listrik yang berada di kawasan konservasi Gunung Guntur ini seakan lunas membayar kesulitan perjalanan yang ditempuh. Pemandangan ke depan yang menampakkan langit biru menggantikan lerengan gunung seakan mengucapkan selamat atas perjuanganku.

Perjalanan dilanjutkan menuju kota Garut. Rencana menengok sentra kerajinan kulit Sukaregang tidak jadi dilakukan karena masalah waktu. Perjalanan dilanjutkan menuju Nagreg, setidaknya tanjakan ini lebih mudah daripada kembali menanjak lewat Samarang, Garut. Jalur mendatar dan sedikit menurun yang mengantarkan perjalanan hingga tanjakan Nagreg saya gunakan untuk mengumpulkan tenaga.

Badan sudah cukup lelah saat jalan layang Nagreg nampak di depan mata. Jam yang hampir menunjukkan pukul 5 sore membuat saya memaksa untuk mengayuh sepeda menembus tanjakan. Target saya untuk menyelesaikan perjalanan sebelum matahari tenggelam gagal sudah.
Sebuah minimarket di Rancaekek menjadi tempat istirahat terakhir saya di perjalanan ini. Jarak ke kota Bandung yang sekitar 25 kilometer lagi membutuhkan mentalitas bersepeda yang lain dari yang diperlukan di perjalanan sebelumnya. Sudah tidak diperlukan lagi tenaga yang besar untuk menanjak dan posisi bersepeda aerodinamis untuk mengurangi terpaan angin.

Lalu lintas kendaraan bermotor pinggiran kota Bandung dipadukan dengan lelahnya badan ini membuat saya harus bisa menjaga momentum untuk bisa pulang. Sedikit menyisakan jarak dengan kendaraan bermotor di depan harus dilakukan sehingga saya tidak harus mengayuh lagi dari awal saat kendaraan bermotor itu berhenti tiba-tiba. Perjalanan berakhir sekitar jam 8 malam, menempuh jarak 150 kilometer dalam sehari.


(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 23 Agustus 2015)