Friday, September 4, 2015

Perjalanan 150 Kilometer dalam Sehari

Perjalanan jarak jauh menjadi salah satu kegiatan yang banyak dilakukan pesepeda saat ini. Bulan Agustus ini salah satu media sosial melakukan tantangan bersepeda sejauh 150 kilometer. Tantangan itu, dan kepenasaranan atas tanjakan Monteng di kawasan Gunung Guntur yang memiliki kemiringan rata-rata 13% membuat saya mencoba bersepeda menuju Garut via Monteng di perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut.

Berangkat dari rumah pukul 9:00 WIB di Buahbatu, perjalanan diarahkan menuju Cicalengka melalui Jalan Raya Timur Cicalengka. Seperti biasa kemacetan mewarnai perjalanan di Jalan Soekarno-Hatta. Sengaja saya melalui jalur lambat yang memang seharusnya dilintasi pesepeda. Selain menjaga ketertiban lalu lintas, saya juga tidak ingin terintimidasi oleh kecepatan tinggi mobil dan kendaraan besar lainnya yang melaju di jalur cepat. Konsekuensi dari pilihan itu memang beberapa kali saya terpaksa menekan tuas rem untuk menghindari sepeda motor yang berjalan lambat.

Kemacetan terasa mengganggu selepas bundaran Cibiru hingga simpang Jatinangor, di sini lalu lintas mobil, sepeda motor dan lainnya berbaur sehingga sangat sulit menjaga kecepatan konstan yang nyaman untuk bersepeda jauh. Jalan yang cukup sepi mulai saya nikmati antara Cicalengka dan Majalaya. Dengan sepeda yang dirakit untuk kegiatan turing, saya bisa mengembangkan kecepatan hingga 25 kilometer per jam. Angin yang berhembus dari depan sejak awal perjalanan tidak begitu mengganggu lagi karena saya bisa memegang stang di bagian bawah untuk mengurangi hambatan angin.

Tiba di Majalaya, waktu menunjukkan pukul 11:45. Terus terang saya masih belum yakin dengan keadaan logistik jalur beberapa kilometer ke depan sehingga saya memutuskan untuk makan siang serta mengisi penuh kedua botol bidon saya di sini.

Tantangan sebenarnya baru dimulai setelah istirahat makan siang tersebut. Jarak yang baru mencapai 50 kilometer membuat saya ragu, apalagi rute yang menanjak menuju Ibun hingga berakhir di PLTP Kamojang mengharuskan saya menanjak setinggi 800 meter. Perbedaan ketinggian kecamatan Majalaya di 700 meter dan Kamojang di 1.500 meter di atas permukaan laut hanya ditempuh dalam jarak kurang dari 10 kilometer.

Beratnya tanjakan, terutama mulai Paseh hingga tanjakan berakhir di Monteng, sebelum pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Kamojang yang berkisar 12% lebih membuat kelelahan mengalahkan semangat untuk tetap mengayuh pedal. Teringat akan masih jauhnya perjalanan, saya memutuskan untuk menuntun sepeda, setidaknya 3 kilometer per jam kecepatan menuntun masih bisa mencicil jarak yang harus ditempuh.

Tapi jurus menuntun itu pun ternyata sulit dilakukan di Tanjakan Monteng. Di beberapa tempat, kemiringan yang mencapai 30% membuat saya seakan mendorong sepeda ke atas tembok, umumnya tanjakan seberat ini hanya ada di medan offroad. Setidaknya di medan offroad, sepatu sepeda masih bisa mendapatkan traksi. Di jalan aspal dengan sedikit pasir di atasnya, beberapa kali sepatu kembali merosot ke bawah.

Perjuangan ini akhirnya selesai saat saya menjumpai tanda-tanda instalasi PLTP Kamojang. Terlihatnya plang kawasan pembangkit listrik yang berada di kawasan konservasi Gunung Guntur ini seakan lunas membayar kesulitan perjalanan yang ditempuh. Pemandangan ke depan yang menampakkan langit biru menggantikan lerengan gunung seakan mengucapkan selamat atas perjuanganku.

Perjalanan dilanjutkan menuju kota Garut. Rencana menengok sentra kerajinan kulit Sukaregang tidak jadi dilakukan karena masalah waktu. Perjalanan dilanjutkan menuju Nagreg, setidaknya tanjakan ini lebih mudah daripada kembali menanjak lewat Samarang, Garut. Jalur mendatar dan sedikit menurun yang mengantarkan perjalanan hingga tanjakan Nagreg saya gunakan untuk mengumpulkan tenaga.

Badan sudah cukup lelah saat jalan layang Nagreg nampak di depan mata. Jam yang hampir menunjukkan pukul 5 sore membuat saya memaksa untuk mengayuh sepeda menembus tanjakan. Target saya untuk menyelesaikan perjalanan sebelum matahari tenggelam gagal sudah.
Sebuah minimarket di Rancaekek menjadi tempat istirahat terakhir saya di perjalanan ini. Jarak ke kota Bandung yang sekitar 25 kilometer lagi membutuhkan mentalitas bersepeda yang lain dari yang diperlukan di perjalanan sebelumnya. Sudah tidak diperlukan lagi tenaga yang besar untuk menanjak dan posisi bersepeda aerodinamis untuk mengurangi terpaan angin.

Lalu lintas kendaraan bermotor pinggiran kota Bandung dipadukan dengan lelahnya badan ini membuat saya harus bisa menjaga momentum untuk bisa pulang. Sedikit menyisakan jarak dengan kendaraan bermotor di depan harus dilakukan sehingga saya tidak harus mengayuh lagi dari awal saat kendaraan bermotor itu berhenti tiba-tiba. Perjalanan berakhir sekitar jam 8 malam, menempuh jarak 150 kilometer dalam sehari.


(Goestarmono, dimuat di Back2boseh Pikiran Rakyat 23 Agustus 2015)

3 comments:

  1. Mantaap!! Hari minggu kmrn saya mencoba jatinangor-cijapati-cipanas dan pulang lewat nagreg, mohon saran kalau dari jatinangor mau ke monteng hrs ke majalaya dulu ya ?

    ReplyDelete
  2. wah ini bener2 tanjaan legendaris ... tanjakan maut monteng .... ngga haramlah ttb disini :)

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah berkat baca blognya mas mono, akhirnya nyoba juga gowes ke kamojang dari jatinangor. Lepas ibun sdh panas terik dan capek...beruntung ketemu teman2 goweser bandung yg mau menginap di kamojang, jadilah kita ttb berjama'ah. Namun kita tidak lewat monteng, katanya lewat kamojang hill bridge aja yg baru dibuka dan melalui jalan beton lgs ke kamojang yg lebih sopan. Tetep aja bbrp kali berhenti dijalur ini, dan akhirnya selamat sampai kamojang. Saya melanjutkan gowes pulang ke jatinangor...rute onroad yg paling gila!

    ReplyDelete